Monday, May 28, 2007

Stress 'harms nurses' sex lives'



Almost half of nurses feel their sex lives are damaged by the emotional stress of their job, a poll suggests. Nursing Times magazine surveyed almost 2,000 nurses, and found 70% said they suffered from physical or mental health problems linked to work-related stress. Some 44% said their sex life was suffering as a result and a quarter said they had started drinking more.

Nursing Times blamed the pressure of financial deficits and the threat of job cuts in the NHS. The poll also found one in 10 nurses were smoking more, and almost a third reported taking off more days sick than usual. More than one in five of those surveyed had taken 30 or more days off during the last year.

Dr Peter Carter, general secretary of the Royal College of Nursing said: "Nurses are under pressure, under valued and under paid. "Stress is a serious issue for nurses who run the daily gamut of violence and abuse from patients and relatives, as well as coping with the day-to-day pressures of having to do ever more with fewer resources because of deficit-led cost cutting. "When you add to that worries about job security and a pay cut, it comes as no surprise that stress levels are affecting nurses' personal lives and relationships."

Physical attacks

A RCN poll last year found more than a quarter of nurses surveyed had been physically attacked at work, while nearly half had been bullied or harassed by a manager. Dr Carter said: "We need to tackle these issues if we are to keep nurses in the profession, while at the same time attracting new recruits so they can continue to deliver high quality patient care." Steve Barnett, director of NHS Employers, said the impact of stress on NHS employees was "vastly under-estimated". He said work-related stress was responsible for 30% of sickness absence in the NHS - and cost the service £300-400million a year. However, he said NHS Employers had launched a campaign to combat stress, which seemed to be having an effect.

Other findings

A second survey of almost 400 nurses found 90% predicted there would be an increase in sexually transmitted infections over the next five years. The majority (84%) said that services had improved in the previous decade but a similar number (74%) said they were now being stretched by recent cuts. Over 80% said sexual health was not given a high enough priority by healthcare providers and 85% said sexual health services were not given sufficient funds.

KEY FINDINGS
70% of nurses suffer side-effects of work stress
44% said stress was negatively affecting their sex life
24% were drinking more alcohol than usual
13% were smoking more than usual or have started smoking
30% were taking more sick days than usual
Last Updated: Monday, 28 May 2007, 23:03 GMT 00:03 UK
Source : BBC News

Baca selengkapnya...

Friday, May 11, 2007

Leadership Dalam Keperawatan (Part.1)

Oleh : Elly Nurachmah, Prof Dra DNSc (FIK UI)
Kamis, 13 Oct 2005 08:14:03

Perubahan, tantangan, dan peluang sedang dihadapi oleh sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Pada era global seperti saat ini, perubahan dalam sistem dan tatanan pelayanan kesehatan telah mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kesehatan. Salah satu dampak dari perkembangan iptek kesehatan adalah menjadi tingginya biaya pelayanan dan pemeliharaaan kesehatan.

Tingginya biaya kesehatan ini berdampak negatif terhadap ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang memadai untuk golongan masyarakat menengah kebawah, meningkatnya pembayaran premi asuransi kesehatan dan menurunnya cakupan fasilitas dalam asuransi kesehatan, serta terjadinya perubahan perilaku para pelaku yang terlibat dalam pelayanan kesehatan.

Salah satu pelaku yang terlibat dalam sistem pelayanan kesehatan adalah tim kesehatan termasuk tenaga keperawatan. Tenaga keperawatan yang terlibat dalam pelayanan kesehatan harus senantiasa memberikan pelayanannya secara kontinyu dan konsisten selama 24 jam. Mereka menghadapi berbagai masalah kesehatan yang dialami oleh pasien atau keluarganya. Disamping itu, mereka juga harus memfokuskan pelayanannya pada keberlangsungan kegiatan pelayanan itu sendiri.

Mereka sendiri mengalami berbagai respon fisik dan psikologis yang tidak dapat diabaikan karena akan mempengaruhi kinerjanya sehari-hari. Untuk itu, mereka memerlukan pemimpin yang melalui proses kepemimpinannya mampu mengendalikan, memotivasi, bertindak sebagai layaknya pemimpin yang diharapkan, dan menggali potensi yang dimiliki stafnya untuk dibantu dikembangkan

Kepemimpinan kontemporer dalam keperawatan
Keperawatan pada saat ini tengah mengalami beberapa perubahan mendasar baik sebagai sebuah profesi maupun sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat dimana tuntutan masyarakat pada keperawatan agar berkontribusi secara berkualitas semakin tinggi.

Sebagai sebuah profesi, keperawatan dihadapkan pada situasi dimana karakteristik profesi harus dimiliki dan dijalankan sesuai kaidahnya. Sebaliknya, sebagai pemberi pelayanan, keperawatan juga dituntut untuk lebih meningkatkan kontribusinya dalam pelayanan kepada masyarakat yang semakin terdidik, dan mengalami masalah kesehatan yang bervariasi serta respon terhadap masalah kesehatan tersebut menjadi semakin bervariasi pula.

Oleh karena itu, pada saat ini diperlukan kepemimpinan yang mampu mengarahkan profesi keperawatan dalam menyesuaikan dirinya ditengah-tengah perubahan dan pembaharuan sistem pelayanan kesehatan. Kepemimpinan ini seyogyanya yang fleksible, accessible, dan dirasakan kehadirannya, serta bersifat kontemporer.

Kepemimpinan kontemporer merupakan sifat kepemimpinan yang dapat diterapkan dalam situasi saat ini yang mengandung beberapa konsep dasar penting dimana fungsi kepemimpinan ini dijalankan. Beberapa konsep itu antara lain leadership is an art of giving; motivational leadership; entrepreneurship; managing time, stress, and conflict; dan planned change oleh pemimpin visioner dan futuristic (Swansburg & Swansburg, 1999; Rocchiccioli & Tilbury, 1998). Kelima konsep ini hanya sebagian dari berbagai konsep yang mewarnai kepemimpinan kontemporer.

Kepemimpinan merupakan seni untuk seorang pemimpin melayani orang lain (leadership is an art of giving), memberikan apa yang dimiliki untuk kepentingan orang lain. Sebagai pemimpin, ia menempatkan dirinya sebagai orang yang bermanfaat untuk orang lain. Belum banyak pemimpin dalam keperawatan saat ini yang dapat memahami konsep ini secara mendalam.

Hal ini karena mereka lebih memahami paradigma lama dimana setiap pemimpin yang sedang menjalankan fungsi kepemimpinannya harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari yang lain dan mereka merasa memiliki hak untuk dilayani (deserve to be served).

Motivational leadership seyogyanya dimiliki oleh setiap pemimpin dalam keperawatan. Situasi saat ini dimana banyak terjadi perubahan dan juga tantangan telah memberikan kecenderungan pada para pelaksana keperawatan untuk lebih mudah merasa lelah dan cepat give up sehingga ketika dihadapkan pada suatu masalah akan cepat merasa putus asa.

Untuk itulah diperlukan sosok pemimpin yang mampu secara konsisten memberikan motivasi kepada orang lain dan memiliki kualitas kunci (Rocchiccioli & Tilbury, 1998) meliputi kemampuan akan pengetahuan dan ketrampilan (memimpin dan teknis), mengkomunikasikan ide secara efektif, percaya diri, komitmen tinggi, pemahaman tentang kebutuhan orang lain, memiliki dan mengatur energi, serta kemampuan mengambil tindakan yang dirasakan perlu untuk memenuhi kepentingan orang banyak.

Dalam mengantisipasi masa depan, pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya memerlukan kemampuan entrepreuner yang efektif termasuk didalamnya kemampuan bargaining, negosiasi, marketing, penghargaan terhadap keberadaan stakeholder (Chowdury, 2003) internal maupun eksternal.

Kemampuan ini merupakan landasan untuk pemimpin melakukan upaya peningkatan, memperkenalkan kepada pasar siapa diri dan organisasinya serta menilai berbagai asupan dan umpan balik dari lingkungan sebagai hal yang penting dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, pemimpin seperti ini perlu untuk mengenali lebih mendalam masyarakat dimana ia memimpin baik didalam maupun diluar. Ia juga selayaknya mengenali keinginan lingkungan tentang keluaran yang dihasilkan organisasi melalui kepemimpinannya.

Seorang pemimpin keperawatan tidak akan berhasil melakukan fungsinya apabila tidak memiliki kemampuan mengatur waktu, mengendalikan stress baik yang dialaminya maupun orang lain (bawahan), dan juga mengatasi konflik yang terjadi baik internal maupun eksternal, baik individual, maupun kelompok (managing time, stress, and conflict). Kepemimpinan dalam keperawatan memerlukan seseorang yang memiliki kriteria ini.

Hal ini karena dalam kegiatan keseharian, seorang pemimpin sangat memperhitungkan waktu bukan hanya untuk mengatur kegiatan rutin saja, melainkan juga memperhitungkannya ketika pengambilan keputusan penting untuk organisasi dan masa depannya.

Selain itu, stress kerja pada umumnya dialami banyak karyawan maupun pemimpin karena adanya tekanan dalam berbagai hal mulai dari ketersediaan waktu, keinginan menghasilkan sesuatu yang berkualitas, dan keterbatasan sumber, serta upaya melakukan sinergi positif dari berbagai latar belakang pendidikan dan kemampuan. Untuk itu, setiap pemimpin keperawatan seyogyanya memahami konsep pengendalian stress agar dapat tetap mengarahkan orang yang dipimpinnya kearah produktifitas yang tinggi.

Demikian pula ketika seorang pemimpin melihat terjadinya konflik dalam bekerja, ia seyogyanya memiliki pengetahuan dasar tentang konflik dan pendekatan untuk menyelesaikannya tanpa harus mengorbankan salah satu pihak yang berkonflik.

Konsep kelima yang cukup penting adalah kemampuan kepemimpinan yang melibatkan ketrampilan menginisiasi perubahan/pembaharuan secara terrencana (planned change). Kepemimpinan dalam keperawatan memerlukan seseorang pemimpin yang mampu membawa perubahan/pembaharuan tanpa menimbulkan kecemasan dan ketidak pastian situasi akibat perubahan/pembaharuan tersebut pada orang yang terlibat didalamnya.

Konsep ini seyogyanya mendasari sifat kepemimpinan yang visioner dan futuristic. Hal ini karena pemimpin yang berorientasi ke masa depan dan mengetahui pilihan masa depan yang terbaik untuk bawahannya akan mampu membawa perubahan/pembaharuan kedalam kehidupan kerja para bawahannya dengan sebaik-baiknya melalui perencanaan yang matang dan waktu yang tepat.

(Bersambung)



Baca selengkapnya...

Leadership Dalam Keperawatan (Part.2)

Oleh : Elly Nurachmah, Prof Dra DNSc (FIK UI)
Selasa, 22 Nov 2005 12:33:38

Transformasi yang kokoh dan beberapa faktor mendasar telah teridentifikasi dalam proses evolusi yang terjadi pada sistem pelayanan kesehatan. Proses ini pula telah memberikan peluang kepada profesi keperawatan untuk bangkit dan berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaan sistem ini. Berikut ini dijelaskan tiga aspek yang merupakan landasan kontemporer kepemimpinan keperawatan yaitu sistem pelayanan kesehatan, struktur pemberian pelayanan keperawatan, dan fungsi kepemimpinan melalui ketrampilan orang lain.

Sistem pelayanan kesehatan
Sistem pelayanan kesehatan meliputi antara lain sistem pemberian asuhan keperawatan yang diberikan secara terus menerus sejak pertama kali pasien mengalami masalah kesehatan sampai kepada ketika status kesehatan pasien dinyatakan pulih kembali. Proses untuk memberikan pelayanan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu aksesibilitas terhadap pelayanan, kualitas pemberian pelayanan, dan sistem pembayaran yang ditetapkan. Faktor pertama dan kedua merupakan bagian dari tanggung jawab keperawatan, sedangkan faktor ketiga sampai saat ini tidak melibatkan keperawatan. Ini karena sejak dahulu kala keperawatan merasa tidak memiliki kesempatan untuk terlibat didalamnya.

Pada saat ini sistem pelayanan kesehatan dioperasikan dalam lingkungan yang berorientasi pada bisnis dan ditandai dengan kompetisi berfokus pada pasar, biaya, serta pendapatan organisasi (revenue) (Rocchioccioli & Tilbury, 1998). Namun demikian, para pemberi pelayanan dilingkungan pelayanan kesehatan ditantang untuk mampu memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi tetapi berbiaya rendah. Meskipun kualitas merupakan konsep ilusif yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun para pelaku bisnis pelayanan termasuk tenaga keperawatan dituntut untuk mampu mengendalikan biaya.

Oleh karena itu, pada situasi industri kesehatan seperti ini diperlukan tenaga keperawatan yang memiliki kemampuan leadership yang menonjol untuk turut terlibat aktif dalam menganalisa dan mengendalikan biaya pelayanan. Mereka harus berperilaku kepemimpinan yang dapat mempengaruhi orang lain (teman sejawat didalam maupun diluar profesi) untuk turut bekerja secara lebih baik dalam rangka menekan biaya namun tetap berfokus pada kualitas pelayanan. Suatu tujuan akhir pelaksanaan praktik keperawatan adalah memberikan pelayanan keperawatan yang efisien dan efektif dengan tetap mengutamakan kualitas. Sistem pemberian asuhan difasilitasi oleh tujuan ini.

Sebaliknya, beberapa faktor telah mempengaruhi perkembangan praktik keperawatan dan sistem pemberian asuhan. Praktik keperawatan dipengaruhi oleh derajat profesionalisme dan tugas-tugas perkembangan, sedangkan sistem pemberian asuhan direfleksikan oleh perkembangan saat ini dan status pengetahuan dalam praktik keperawatan.

Berdasarkan situasi ini maka seorang pemimpin keperawatan selayaknya memahami perubahan sistem dalam pelayanan kesehatan dan mengidentifikasi berbagai upaya untuk mengembangkan praktik keperawatan dengan mengendalikan faktor yang berpengaruh negatif dan meningkatkan faktor yang berpengaruh positif terhadap praktik keperawatan.

Struktur dalam pemberian pelayanan keperawatan
Lingkungan pelayanan kesehatan pada saat ini telah memberikan peluang pada tenaga keperawatan untuk memperoleh status professional dengan cara proaktif berrespon terhadap kebutuhan perubahan dan harapan masyarakat. Sebagai kelompok pemberi pelayanan kesehatan terbesar, profesi ini telah diposisikan untuk mempengaruhi bukan hanya perkembangan sistem tetapi juga bagaimana praktik harus dibentuk dengan mengubah tatanan lapangan pelayanan kesehatan. Proses yang timbal balik ini tentu saja akan mempengaruhi setiap aspek praktik professional dan sangat tergantung dari proses kepemimpinan keperawatan yang terjadi.

Organisasi kesehatan ditetapkan disetiap tatanan pelayanan dan bertujuan untuk membantu mengorganisasikan berbagai kegiatan yang mengarah pada pencapaian tujuan insititusi dimana struktur organisasinya diterapkan. Fungsi organisasi pelayanan kesehatan ini adalah selain untuk mengakomodasi berbagai kegiatan, namun juga untuk mengorganisasikan para pelaku organisasi didalamnya termasuk tenaga keperawatan agar bekerja secara sinergis mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Rocchiccioli & Tilbury, 1998).

Keberadaan organisasi dalam tatanan pelayanan kesehatan akan berpengaruh terhadap motivasi dan kinerja terutama tenaga keperawatan yang sebaliknya juga dipengaruhi oleh ada-tidaknya suatu penghargaan terhadap eksistensi para tenaga ini dari penanggung jawab sistem atau pimpinan institusi yang dituangkan kedalam struktur organisasi. Organisasi itu sendiri mengatur atau menyusun mereka dalam rangka mengkordinasikan kegiatan dan mengendalikan kinerja karyawan atau stafnya (Rocchiccioli & Tilbury, 1998).

Pada saat ini, beberapa jenis struktur telah disusun dan ditetapkan untuk merefleksikan sistem pelayanan yang diberikan disuatu tatanan. Departementasi merupakan cara utama untuk membentuk hubungan kerja yang spesifik dan tanggung jawab dari masing2 departemen. Pembagian fungsi (sistem fungsional) dikembangkan sebagai jenis lain struktur organisasi dalam tatanan pelayanan kesehatan.

Keperawatan, saat ini belum berpeluang untuk memperoleh wadah tersendiri tetapi merupakan fungsi yang terintegrasi dengan fungsi pelayanan yang terdapat dalam departemen. Representasi fungsi keperawatan tertuang dalam suatu komite keperawatan yang pada dasarnya tidak memiliki tanggung jawab manajerial terhadap kegiatan dan kinerja keperawatan yang dilakukan oleh tenaga keperawatan.

Suatu sistem pelayanan kesehatan memerlukan organisasi yang dapat memimpin pada saat ini dan ke masa depan. Oleh karena itu, organisasi harus mengutamakan dua hal yaitu bakat dan lingkungan. Suatu organisasi harus mempekerjakan orang-orang yang terbaik, cemerlang, dan mampu melakukan diversifikasi dalam rangka inovasi serta bukan hanya memperhitungkan latar belakang kedisiplinan ilmu. Melalui struktur organisasi mereka akan bekerjasama untuk menghasilkan keluaran yang berkualitas dan lebih cepat (mobilitas tinggi). Sebaliknya, organisasi harus mampu menciptakan (Chowdhury, 2003):

* lingkungan belajar yang konstan yang dapat menimbulkan tantangan positif.
* lingkungan yang tidak mencemaskan dimana orang dapat berkomunikasi dan berkolaborasi satu sama lain.
* lingkungan yang berbeda dimana setiap orang akan dapat berpikir secara berbeda dan menghargai pemikiran orang lain.
* cara lain dalam memandang masalah dan peluang serta memiliki “rasa” yang kuat akan pentingnya suatu masalah.
* budaya yang dapat mendongkrak bakat secara efektif.

Dengan demikian, suatu struktur organisasi dalam pelayanan kesehatan harus mampu mewadahi bakat stafnya termasuk tenaga keperawatan dan menciptakan lingkungan bekerja yang sesuai dengan kelima kondisi diatas dan berlaku secara merata untuk semua pihak yang tergabung dalam tim kesehatan. Demikian pula berbagai peluang seyogyanya diberikan secara sama kepada tim kesehatan termasuk tenaga keperawatan, sehingga tenaga ini dapat mengembangkan leadership skill nya dengan baik.

Kepemimpinan melalui ketrampilan orang lain
Kepemimpinan efektif merupakan gaya memimpin yang dapat menghasilkan keluaran melalui pengaturan kinerja orang lain. Pemimpin ini harus mampu memastikan bahwa bawahan melaksanakan pekerjaannya berdasarkan ketrampilan yang dimiliki dan komitmen terhadap pekerjaan untuk menghasilkan keluaran yang terbaik (Leffton & Buzzotta, 2004). Oleh karena itu, kepemimpinan efektif timbul sebagai hasil sinergis berbagai ketrampilan mulai dari administratif (perencanaan pengorganisasian, pengendalian, dan pengawasan) sampai pada ketrampilan teknis seperti pengelolaan, pemasaran, dan teknis procedural.

Kepemimpinan dalam keperawatan dapat ditumbuhkan lebih optimal, selain dengan menguasai ketrampilan diatas tetapi juga apabila seorang pemimpin perawat mampu memperlihatkan ketrampilan dalam menghadapi orang lain dengan efektif. Ketrampilan tersebut Leffton & Buzzotta (2004) adalah ketrampilan dalam:

* menilai orang lain
* berkomunikasi
* memotivasi, dan
* menyesuaikan diri.

Didalam pelayanan kesehatan / keperawatan, ketrampilan menilai orang lain merupakan kemampuan untuk menetapkan tingkat ketrampilan perawat dibawah tanggung jawabnya dalam memberikan pelayanan kepada pasiennya dan kegiatan lain yang terkait dengan pelayanan.

Demikian juga ketrampilan menilai ini harus dilakukan oleh pemimpin perawat diberbagai bidang atau sistem lain. Ia harus mencermati apa yang dilakukan oleh orang lain sebagai bawahannya dengan mempertahankan obyektifitas dan memahami mengapa bawahan melakukannya. Melalui pemahaman ini pemimpin akan mampu berinteraksi berdasarkan pengetahuannya tentang bawahan tersebut.

Kemampuan berkomunikasi merupakan faktor yang amat menentukan keberhasilan pencapaian keluaran. Pemimpin yang telah memahami secara mendalam dan spesifik tentang bawahannya akan mampu menciptakan dan memodifikasi materi komunikasi sehingga hasil komunikasi dapat menjadi lebih optimal.

Disamping itu, ia juga sebagai pemimpin menjadi mampu mengembangkan strategi yang tepat dalam menggali ide dan pendapat orang lain serta bertukar ide dalam menyelesaikan masalah secara efektif. Ketrampilan berkomunikasi juga diperlukan ketika pemimpin perawat melakukan lobi ke berbagai pihak terutama penentu kebijakan yang berhubungan dengan profesi keperawatan. Komunikasi yang dilakukan seyogyanya tidak menimbulkan ancaman atau ketidak nyamanan pihak yang sedang dilobi, sehingga kegiatan negosiasi dapat dilakukan tanpa disadari dan berpotensi menghasilkan sesuatu yang positif.

Ketrampilan memotivasi merupakan kompetensi kepemimpinan berikutnya yang harus dimiliki oleh pemimpin keperawatan. Ketrampilan ini sangat penting karena memiliki potensi untuk mengarahkan bawahan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya karena ia merasa ada sesuatu yang menarik hati untuk mengerjakan pekerjaan tersebut.

Namun, cara memotivasi ini tidak harus selalu sama karena motivasi seseorang untuk bekerja utamanya berasal dari dalam diri bawahan yang sulit dilihat secara sekilas oleh pemimpin. Oleh karena itu, dalam memotivasi bawahan, seorang pemimpin keperawatan perlu mempertimbangkan berbagai aspek yang dapat memotivasi bawahan baik secara internal maupun eksternal, termasuk didalamnya menetapkan insentif (Swansburg & Swansburg, 1999; Rocchiccioli & Tilbury, 1998; Chowdhury, 2003).

Ketrampilan menyesuaikan diri merupakan modal dasar bagi pemimpin keperawatan dalam upaya mengoptimalisasi keluaran (DuBrin, 2000). Pemimpin yang efektif mengetahui secara tepat bagaimana dan dengan cara apa ia berinteraksi dengan setiap bawahan. Hal ini karena ia sangat memahami keunikan masing-masing bawahan.

Pemimpin keperawatan yang efektif tidak akan menggunakan cara dan pendekatan yang sama untuk semua bawahan melainkan membedakan teknik komunikasi dan cara memotivasi bawahan yang satu dengan lainnya. Sebaliknya, ketika berinteraksi pemimpin perawat juga tidak menjadi merasa kalah atau lebih rendah ketika diperlukan upaya menyesuaikan diri dengan kondisi bawahan ketika interaksi terjadi.

Perilaku kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan kekuatan dinamis yang penting dalam memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi atau institusi untuk mencapai tujuan. Selain itu, kepemimpinan juga adalah kemampuan untuk menciptakan rasa percaya diri dan menghasilkan dukungan dari bawahan sehingga tujuan yang ditetapkan bersama dalam organisasi dapat tercapai. Seorang pemimpin dianggap berhasil menjalankan fungsi kepemimpinannya apabila berdasarkan upayanya untuk memperlihatkan kriteria perilaku berikut dapat menghasilkan keluaran secara efektif. Kriteria itu adalah seperti yang dijelaskan DuBrin (2000) berikut ini.

1. Berpikir seperti pemimpin
Perilaku kepemimpinan yang baik dapat ditumbuhkan sejak dini. Namun, ia harus memiliki dasar talenta untuk cepat tanggap (responsive) terhadap lingkungan. Melalui respon yang selalu ditimbulkan sebenarnya ia melatih kemampuan berpikir kritis. Pemikiran kritis ini harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Hal ini karena pemimpin sering menggunakan imaginasi dan teknik penyelesaian masalah kreatif yang berasal dari kemampuan berpikir kritis tadi. Pemimpin juga harus menciptakan visi bagi organisasi atau lingkungan dimana ia memimpin. Ia menspesifikasikan tujuan yang luas dan strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan itu. Ia juga memberikan inspirasi yang banyak bagi bawahannya sehingga mereka menjadi mampu melakukan kegiatan produktif.

Kemampuan berpikir kritis seorang pemimpin melandasi pelaksanaan fungsi kepemimpinan yang juga meliputi fungsi manajerial. Oleh karena itu, menggali ide-ide kreatif, memberikan ide cemerlang tersebut pada suatu pertemuan serta menciptakan terobosan yang dapat meningkatkan produktifitas tanpa meningkatkan beban kerja bawahan merupakan hasil upaya berpikir seorang pemimpin. Hal ini akan menghasilkan sesuatu yang lebih optimal apabila pemimpin juga mampu menciptakan teamwork yang handal dan kerjasama yang didasasi motivasi yang terpelihara dengan baik. Untuk mencapai situasi ini pemimpin harus mampu berupaya mempengaruhi banyak orang melalui beberapa cara seperti misalnya memberi petunjuk, instruksi, dan delegasi (DuBrin, 2000).

Didalam keperawatan, fungsi kepemimpinan yang dilaksanakan pemimpin perawat yang memperlihatkan daya berpikir layaknya pemimpin dapat diterapkan secara bertahap. Pemimpin keperawatan harus mulai berpikir positif tentang dirinya dan orang lain, tentang situasi yang dihadapi atau yang akan terjadi. Ia juga harus banyak bergaul dengan pemimpin besar dibidangnya, dan selalu mempelajari visi yang telah ditetapkan dan membandingkan juga dengan berbagai pandangan pemimpin perawat diluar negeri yang memiliki sikap futuristic. Yang paling penting, ia juga harus berpikir secara sistem, untuk memahami bagaimana menerapkan pembaharuan dalam suatu bidang akan mempengaruhi biadng lainnya baik pada saat sekarang maupun mendatang.


2. Berkomunikasi seperti pemimpin
Perilaku lain yang dapat memperlihatkan integritas dan kredibilitas pemimpin adalah kemampuan berkomunikasi. Seorang pemimpin akan memilih kalimat, mengucapkan kata-kata dan bahasa tubuh yang dapat memberikan pengaruh pada orang lain. Selain itu, materi komunikasi yang disampaikan dapat memberi inspirasi pada bawahan atau orang lain. Bahasa yang digunakan oleh seorang pemimpin yang memahami bahwa teknik komunikasi dapat memperlancar pencapaian tujuan merupakan kekuatan internal diri yang memberikan pengaruh mendalam agar bawahan terlarut dalam pemikiran yang diharapkan pemimpin.

Cara berkomunikasi layaknya seorang pemimpin juga dapat dilakukan melalui penggunaan analogi atau metafora yang sesuai yang akan lebih menarik imaginasi pemimpin dalam mengutarakan ide atau pandangan kreatifnya. Analogi diperlukan ketika seorang pemimpin sedang berusaha menjelaskan ide atau pandangannya dengan cara lebih jelas sehingga orang yang diajak berkomunikasi dapat memahami. Sebaliknya, metafora, yang tampak lebih tersamar dibandingkan dengan analogi juga dapat membandingkan dua hal yang tidak terlalu mirip sebagai contoh situasi dari apa yang sedang dihadapi (DuBrin, 2000).

Dalam bidang keperawatan, kepemimpinan dapat dijalankan oleh pemimpin keperawatan melalui cara berkomunikasi yang efektif. Sikap bicara, sikap berdiri, pandangan terfokus kepada lawan bicara, dan senyum akan banyak membantu pemimpin perawat untuk berkomunikasi layaknya seorang pemimpin yang memiliki pengaruh besar terhadap orang lain. Memberikan cerita tambahan dapat digunakan sebagai variasi materi yang ingin disampaikan. Yang terpenting adalah materi yang disampaikan harus dapat diterima dan kejujuran dalam menyampaikan harus dapat ditangkap oleh pihak yang diajak berkomunikasi. Hindari ucapan sebagai hasil pemikiran negatif, demikian juga gossip yang tidak diketahui sumbernya; keduanya berpotensi untuk menurunkan kepercayaan bawahan terhadap pemimpinnya.


3. Bertindak layaknya pemimpin
Seorang pemimpin harus dapat memperlihatkan contoh peran yang baik sebagai pemimpin didepan bawahan atau orang lain. Memberi contoh peran atau role modeling pada orang lain akan merefleksikan siapa pemimpin itu sebenarnya. Contoh peran ini harus orisinal dan tidak dibuat-buat. Oleh karena contoh peran itu merupakan keteladanan yang ingin diberikan kepada orang lain supaya dicontoh. Keteladanan ini adalah landasan kuat untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja sesuai dengan harapan. Melalui keteladanan seorang pemimpin akan mampu menyampaikan budaya organisasi / institusi kepada orang lain.

Pemimpin yang menghargai budaya organisasi / institusi akan dapat menghormati kebijakan yang berlaku dan hal ini akan diikuti oleh pengikutnya. Selain itu, pemimpin juga seyogyanya mampu memperlihatkan kebiasaan bekerja yang baik, professional, dan mengandung makna keamanan, kenyamanan, dan keselamatan kerja yang selalu dipertahankan. Untuk menjadi pemimpin yang baik ia harus menjadi sumber inspirasi bagi orang lain untuk mencapai tujuan. Sumber inspirasi ini ditunjukkan baik berasal dari sikap kepemimpinan, cara berkomunikasi, cara mengendalikan emosi, dan bertindak yang tepat sebagai pemimpin dari seseorang pemimpin.

Kepemimpinan dalam keperawatan dapat ditunjukkan melalui sikap, tindakan, dan kemampuan berkomunikasi secara efektif dan dapat diteladani oleh orang lain. Dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya, seorang pemimpin perawat memiliki fungsi unik untuk mempengaruhi bawahannya karena pada umumnya mayoritas bawahan adalah perempuan yang dipersepsikan kurang menggunakan rasional dan lebih mengemukakan emosinya dalam menghadapi suatu situasi. Oleh karena itu, pemimpin perawat juga harus membekali diri dengan pengetahuan dan kemampuan bermitra dengan tenaga yang berjenis kelamin sama. Namun demikian, kelebihan juga dimiliki oleu bawahan perempuan yaitu tekun, setia dan komitmen tinggi. Faktor inilah yang harus diberdayakan pemimpin agar bawahannya dapat dipengaruhi sehingga tujuan bersama dapat dicapai. Hal ini dapat dicapai dengan selalu menyediakan diri untuk membantu bawahan/orang lain, mendengarkan berbagai keluhan dan harapan bawahan.


4. Membantu orang lain memimpin dirinya
Banyak pemimpin yang lebih mengetengahkan egonya dibandingkan dengan keinginan memajukan atau memberdayakan orang lain. Hal ini tentu saja dapat menurunkan efektifitas fungsi kepemimpinannya. Untuk itu, pemimpin harus memahami hakekat pemberdayaan atau penguatan orang lain terutama bawahan yang memiliki potensi kuat untuk diberdayakan. Oleh karena itu, sebagai pemimpin ia harus mengetahui siapa yang layak untuk diberdayakan dan siapa yang tidak layak/tidak mungkin untuk diberdayakan.

Pemimpin yang efektif seyogyanya mampu memberdayakan bawahannya. Pemberdayaan adalah suatu pendelegasian otoritas dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab pemimpin kepada bawahan yang dianggap cocok untuk mengembannya. Ini berarti, pemimpin membebaskan orang tersebut dari kewajiban berkonsultasi dan berdiskusi dengan pimpinan. Untuk menetapkan seseorang mampu untuk diberdayakan, ada beberapa faktor yang perlu dipahami pemimpin sebelum memberdayakan seseorang yaitu: makna pemberdayaan terhadap kewenangan pimpinan pada aspek yang didelegasikan; kompetensi yang didelegasikan; self-determination dari orang yang didelegasikan; dampak yang akan diperoleh melalui pendelegasian tersebut.

Pemimpin dalam keperawatan dapat mendelegasikan sebagian fungsi kepemimpinannya kepada orang yang diyakini akan mampu mengemban pendelegasian ini. Hal ini perlu dicermati karena pendelegasian berarti pemberian sebagian kekuasaan, tanggung jawab, dan kewenangan dalam memutuskan. Oleh karena itu, pemimpin perawat harus mampu memilih dan menetapkan seseorang dalam menerima pendelegasian tugas yang memiliki makna penting karena berkaitan dengan kepentingan orang lain misalnya pasien dan keluarga (di tatanan pelayanan keperawatan) atau mahasiswa dan dosen lain (ditatanan pendidikan keperawatan).


5. Membantu mengembangkan potensi
Fungsi kepemimpinan memiliki makna fungsi pembinaan pada orang lain. Pemimpin yang memahami bawahan akan dapat menetapkan fungsi pembinaan pada saat dan tempat yang tepat. Melalui pembinaan ini pemimpin berupaya menciptakan perkembangan yang dibutuhkan oleh bawahan setelah mengkajinya dengan teliti. Untuk dapat berfungsi menjadi pembina, sebagai pemimpin ia harus bersikap humanistik dan suportif serta mampu menjadi suri teladan untuk orang lain.

Membina orang lain mengembangkan potensinya meliputi berbagai kegiatan kepemimpinan seperti; menunjukkan perhatian terhadap tingkat kesejahteraan orang lain (bawahan), mendengarkan keluhan dan masalah kerja yang dialami oleh bawahan, meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan pribadi dan menunjukkan empatinya, menyampaikan selamat pada yang berhasil, membantu bawahan menyelesaikan masalah, berperan sebagai pelatih yang menguasai teknik kerja, dan menyediakan diri untuk menjadi mentor atau penasehat ketika bawahan memerlukannya.

Disamping itu, peran pembinaan yang dilaksanakan oleh pimpinan terutama sangat tergantung dari ketrampilan dan teknik berkomunikasi yang bersifat suportif. Komunikasi suportif mengandung landasan orientasi pada masalah, diberikan secara verbal dan non-verbal yang sinkron, menekankan pada pembenaran sehingga orang yang sedang berkomunikasi merasa nyaman karena berarti telah memberi pengakuan akan kehadiran, keunikan dan arti penting dari orang lain yang diajak berkomunikasi. Komunikasi suportif juga bersifat spesifik, terkait logis dengan informasi sebelumnya, dan diakui secara nyata, serta mengandung sikap mau mendengar dan memberi informasi.

Sebagai pembina yang sadar bahwa pengembangan potensi orang lain terletak sebagian besar pada dirinya sebagai pemimpin, maka ia juga seyogyanya harus bersedia untuk memberi umpan balik dan dorongan positif. Salah satu tugas dasar seorang pemimpin adalah memberi umpan balik tentang kinerja dan perilaku yang diperlihatkan bawahan. Umpan balik baik yang positif maupun negatif harus diberikan dengan tepat, sesuai tempat, dan waktu sehingga dapat membantu bawahan untuk tumbuh dan berkembang serta menjadi kekuatan untuk memotivasinya dalam berkinerja dan berperilaku lebih baik. Umpan balik yang diberikan sebaiknya pada akhir peristiwa, bersifat spesifik, memberi kesempatan pada bawahan untuk menjelaskan, dan berfokus pada perilaku bukan personal bawahan.

Dalam keperawatan, tidak banyak pemimpin perawat yang mau memberikan umpan balik secara terbuka karena takut dipersepsikan salah oleh yang menerima umpan balik. Sebaliknya perawat dibawah kepemimpinannya juga belum siap menerima umpan balik terbuka terutama yang bersifat negatif. Hal ini karena mereka tidak terbiasa untuk menerima kinerja dan perilaku mereka dikritik, dikomentari atau ditanggapi. Pada umumnya, mereka dinilai tidak berdasarkan keterbukaan sehingga obyektifitas penilaian menjadi minimal. Dengan demikian agak sulit bagi pemimpin perawat untuk menjalankan tugas pembinaannya dalam rangka menumbuhkan-kembangkan potensi seseorang bawahan melalui pemberian umpan balik namun suportif.

Kepemimpinan etikal dalam keperawatan yang visioner dan transformasional
Kepemimpinan merupakan fungsi untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja sesuai dengan arah yang ditetapkan untuk mencapai tujuan. Fungsi ini dilaksanakan meliputi berbagai aspek dan bidang kerja serta melibatkan kegiatan memotivasi, membina, dan mengembangkan potensi bawahan. Seluruh komponen yang menjadi cakupan kerja kepemimpinan seseorang dipersepsikan sebagai sub-subsistem yang harus dikoordinasikan menjadi sistem yang terintegrasi.

Namun demikian, kepemimpinan ini juga harus dilaksanakan secara etikal karena tidak jarang pemimpin perawat menghadapi masalah yang melibatkan keputusan etik sehingga memerlukan kerjasama dengan pihak lain untuk menemukan solusi etik. Pengambilan keputusan yang melibatkan kepentingan pasien dan keluarga sering menuntut pemimpin perawat untuk membuat keputusan etik yang mempertimbangkan norma dan nilai-nilai dari berbagai pihak khususnya pasien dan keluarga. Demikian pula keputusan etik yang harus diambil dalam masalah sistem pelayanan kesehatan dan perasuransian, keterbatasan sumber-sumber, dan perilaku tim kesehatan yang dipersepsikan melecehkan pihak lain.

Dengan kata lain, kepemimpinan dalam keperawatan melibatkan banyak aspek dan unsur yang terkait didalamnya sehingga diperlukan pemimpin yang mampu menjalankan kepemimpinannya bukan hanya mempertimbangkan aspek etik saja tetapi juga pertimbangan visi kedepan dan bagaimana mentransformasikan perubahan dan pembaharuan kedalam kegiatan harian tanpa menimbulkan kecemasan, ketidak-pastian, dan ancaman bagi yang terlibat didalamnya serta mewujudkan perubahan itu secara terrencana, bertahap, namun berhasil guna. Pemimpin seperti ini tentu harus memiliki visi masa depan yang kuat dan melalui pengaruh serta kekuatannya sebagai pemimpin mampu membawa anggotanya mengarah pada pencapaian visi tersebut.

Kepemimpinan keperawatan sesudah abad 21
Pada era global saat ini dan era sesudahnya akan banyak terjadi perubahan dalam kehidupan manusia, sistem penyelenggaraan kehidupan manusia, keterbatasan sumber-sumber yang diperlukan dalam kehidupan manusia serta perkembangan ilmu dan teknologi yang tiada henti. Perubahan sikap dan perilaku sumber daya manusia dalam sistem ketenaga-kerjaan juga akan terjadi sebagai dampak dari berbagai perubahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan manusia. Berdasarkan situasi ini, maka dimasa depan diperlukan pemimpin yang handal tapi tangguh yang memiliki berbagai ketrampilan dari mulai memotivasi bawahan sampai kepada menciptakan banyak perubahan yang bermanfaat.

Dalam keperawatanpun diperlukan pemimpin perawat yang mampu menjalankan kepemimpinannya secara handal dan tangguh. Hal ini karena sejak dari sekarang juga telah terjadi banyak perubahan mendasar dalam industri kesehatan termasuk tatanan pelayanan kesehatan yang menuntut setiap pemimpin perawat memahami landasan konsep dan kriteria yang diperlukan pemimpin dalam memimpin perawat yang memiliki latar belakang pendidikan, pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang berbeda. Selain itu, kepemimpinan dalam keperawatan juga harus mampu mempengaruhi pembuatan kebijakan, penggunaan strategi politik, dan teknik berkomunikasi yang memberikan pengaruh perubahan kearah yang lebih baik bagi profesi keperawatan.

Oleh karena itu, dalam menjalankan kepemimpinannya para pemimpin perawat harus senantiasa memiliki sikap dan perilaku pemimpin yang selalu berpikir untuk kepentingan jangka panjang. Selain itu, memandang seluruh kepentingan profesi keperawatan diatas kepentingan unit atau institusi semata. Ia juga harus mampu memperluas area yurisdiksinya sehingga dapat memperlihatkan pengaruh positif terhadap orang lain. Sebagai pemimpin keperawatan yang memahami tujuan akhir dari kepemimpinannya seyogyanya selalu mengutamakan visi, nilai-nilai, dan memberikan motivasi untuk para bawahannya (Swansburg & Swansburg, 1999). Yang utama, untuk kepentingan di masa depan ia harus memperlihatkan ketrampilan politik dalam mempercepat pencapaian tujuan, dan selalu berpikir untuk pembaharuan kedalam profesinya.

Pemimpin keperawatan dimasa depan juga harus mampu menciptakan nilai-nilai unggulan yang menjadi karakteristik profesi, dan menyatakan visi yang mampu menjadi inspirasi bagi orang lain. Dalam kepemimpinannya, ia juga harus mampu berbicara dan bertindak strategis sehingga dapat menimbulkan manfaat positif bagi orang yang dipimpinnya. Selanjutnya, banyaknya peluang yang berpotensi terjadi dimasa depan mengharuskan pemimpin perawat menentukan arah perubahan yang berskala besar melalui pemikiran yang strategis. Pemimpin perawat juga harus menjadi sumber pengetahuan formal bagi orang lain, bertindak dan bersikap sebagai pemimpin visioner dan transformasional (DuBrin, 2000).

Penutup
Para perawat yang berada pada posisi kepemimpinan memiliki tanggung jawab yang luas dalam arena pelayanan kesehatan. Hal ini karena lingkungan pelayanan kesehatan saat ini memberikan banyak peluang untuk perawat memperoleh status professionalnya dengan secara proaktif berespon terhadap kebutuhan perubahan dan harapan masyarakat.

Keperawatan biasanya menjadi jelas posisinya justru karena ketidak hadirannya dalam daftar kepemimpinan nasional. Banyak masyarakat yang belum mempersepsikan pemimpin perawat memiliki kekuatan dan kekuasaan. Demikian pula sistem pelayanan kesehatan tidak berhasil untuk mengidentifikasi profesi perawat sebagai professional yang memiliki pengetahuan yang bermanfaat untuk membantu menciptakan solusi terhadap masalah kesehatan yang kompleks. Hal ini dapat dimengerti karena selama ini sesuai sejarahnya, banyak perawat yang telah menghindari peluang untuk mengemban kekuatan dan peranan politik di masa lalu.

Namun, meskipun lambat, saat ini profesi ini mulai memahami bahwa kekuatan dan kekuasaan serta peranan politik telah menjadi salah satu faktor penentu mencapai tujuan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan dan sekaligus meningkatkan otonomi keperawatan. Oleh karena itu, ketika terjadi banyak perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan maka para pemimpin perawat harus berpartisipasi secara aktif dan proaktif untuk mencari jalan bagaimana mempengaruhi pengambil keputusan dalam sistem pelayanan kesehatan dan membuat untuk didengar suaranya oleh mereka. Para pemimpin perawat memiliki kapasitas kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan publik sepanjang mereka memiliki berbagai potensi kepemimpinan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.



Baca selengkapnya...

Asuhan Keperawatan Bermutu di Rumah Sakit

Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan bentuk pelayanan yang diberikan kepada klien oleh suatu tim multi disiplin termasuk tim keperawatan. Tim keperawatan merupakan anggota tim kesehatan garda depan yang menghadapi masalah kesehatan klien selama 24 jam secara terus menerus.

Tim pelayanan keperawatan memberikan pelayanan kepada klien sesuai dengan keyakinan profesi dan standar yang ditetapkan. Hal ini ditujukan agar pelayanan keperawatan yang diberikan senantiasa merupakan pelayanan yang aman serta dapat memenuhi kebutuhan dan harapan klien.


Pelayanan kesehatan pada masa kini sudah merupakan industri jasa kesehatan utama dimana setiap rumah sakit bertanggung gugat terhadap penerima jasa pelayanan kesehatan. Keberadaan dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari penerima jasa pelayanan tersebut. Disamping itu, penekanan pelayanan kepada kualitas yang tinggi tersebut harus dapat dicapai dengan biaya yang dapat dipertanggung-jawabkan.

Dengan demikian, semua pemberi pelayanan ditekan untuk menurunkan biaya pelayanan namun kualitas pelayanan dan kepuasan klien sebagai konsumen masih tetap menjadi tolak ukur (“benchmark”) utama keberhasilan pelayanan kesehatn yang diberikan (Miloney, 2001).

Para penerima jasa pelayanan kesehatan saat ini telah menyadari hak-haknya sehingga keluhan, harapan, laporan, dan tuntutan ke pengadilan sudah menjadi suatu bagian dari upaya mempertahankan hak mereka sebagai penerima jasa tersebut. Oleh karena itu industri jasa kesehatan menjadi semakin merasakan bahwa kualitas pelayanan merupakan upaya kompetentif dalam rangka mempertahankan eksistensi pelayanan tersebut.

Selayaknaya industri jasa pelayanan menaruh perhatian besar dan menyadari bahwa kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan ditentukan pula oleh kualitas berbagai komponen pelayanan termasuk keperawatan dan sumber daya manusianya.

Kegiatan pelayanan keperawatan berkualiatas telah dimulai sejak seorang perawat Muslim pertama yaitu Siti Rufaida pada jaman Nabi Muhammad S.A.W selalu berusahan memberikan pelayanan terbaiknya bagi yang membutuhkan tanpa membedakan apakah kliennya kaya atau miskin.

Demikian pula Florence Nightingale pada tahun 1858, telah berupaya memperbaiki kondisi pelayayanan keperawatan yang diberikan kepada serdadu pada perang Krimen. Dengan terjadinya perubahan diberbagai aspek kehidupan keperawatan pada saat ini telah berkembang menjadi suatu profesi yang memiliki keilmuan unik yang menghasilkan peningkatan minat dan perhatian diantara anggotanya dalam meningkatkan pelayanannya.

Tujuan penulisan ini adalah menjelaskan tentang asuhan keperawatan bermutu di rumah sakit, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan, kendala serta upaya yang perlu dilakukan agar asuhan keperawatan bermutu ini dapat dicapai dan dipertahankan. Diharapkan, melalui tulisan yang sangat terbatas ini dapat diambil inti dan manfaatnya sehingga dapat membantu meningkatkan asuhan keperawatan yang ada dan kemudian akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit seperti yang diharapkan.

Pelayan dan Asuhan Keperawatan

Pelayanan dan asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien merupakan bentuk pelayanan profesional yang bertujuan untuk membantu klien dalam pemulihan dan peningkatan kemampuan dirinya memalui tindakan pemenuhan kebutuhan klien secara komprehensif dan berkesinambungan sampai klien mampu untuk melakukan kegiatan rutinitasnya tanpa bantuan.

Bentuik pelayanan ini seyogyanya diberikan oleh perawat yang memiliki kemampuan serta sikap dan kepribadian yang sesuai dengan tuntutan profesi keperawatan; dan untuk itu tenaga keperawatan ini harus dipersiapkan dan ditingkatkan secara teratur, terrencana, dan kontinyu.

Pelayanan keperawatan yang dilakukan di rumah sakit merupakan sistem pengelolaan asuahan keperawatan yang diberikan kepada klien agar menjadi berdaya guna dan berhasil guna. Sistem pengelolaan ini akan berhasil apabila seseorang perawat yang memiliki tanggung jawab mengelola tersebut mempunyai pengatahuan tentang manajemen keperawatan dan kemampuan meminpin orang lain di samping pengetahuan dan keterampilan klinis yang harus dikuasainya pula.

Keberhasilan pengelola pelayanan keperawatan akan menimbulkan keberhasilan asuhan keperawatan yang diberikan oleh para perawat pelaksananya. Demikian pula sebaliknya, keberhasilan kerja para perawat pelakasana akan sangat tergantung dari upaya menejerial keperawatan.

Pelayanan keperawatan di ruang rawat terdiri dari serangkaian kegiatan yang dikoordinatori dan menjadi tanggung jawab kepala ruang rawat yang berperan sebagai manajer. Pelayanan keperawatan profesional berfokus pada berbagai kegiatan pemenuhan kebutuhan klien melalui intervensi keperawatan yang berlandaskan kiat dan ilmu keperawatan.

Para manajer keperawatan senantiasa harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan oleh para pelaksana keperawatan adalah pelayanan yang aman dan mementingkan kenyamanan klien. Selain itu, para manajer perawat seyogyanya menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan/keperawatan sebagai upaya untuk mewujudkan praktik keperawatan yang berdasarkan pengetahuan dan fakta (knowledge/evidence based nursing practice) (Nurchmah, 2000).

Kelancaran pelayanan keperawatan di suatu ruang rawat baik rawat inap maupun rawat jalan dipengaruhi oleh beberapa aspek anatara lain adanya;
  • Visi, misi dan tujuan rumah sakit yang dijabarkan secara lokal ruang rawat.
  • Struktur organisasi local, mekanisme kerja (standar-standar) yang diberlakukan di ruang rawat.
  • Sumber daya manusia keperawatan yang memadai baik kuantitas mapun kualitas.
  • Metoda penugasan/pemberi asuhan dan landasan model pendekatan kepada klien yang ditetapkan.
  • Tersedianya berbagai sumber/fasilitas yang mendukung pencapaian kualitas pelayanan yang diberikan.
  • Kesadaran dan motivasi dari seluruh tanaga keperawatan yang ada.
  • Komitmen dari pimpinan rumah sakit ( Nurachmah, 2000).
Seluruh aspek pelayanan keperawatan di atas sudah lama menjadi tuntutan suatu sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit agar pelayanan yang diberikan dapat memuaskan klien dan keluarga pengguna jasa pelayanan kesehatan.

Tuntutan ini terjadi karena beberapa situasi yang telah terjadi pada dekade terakhir ini menunjukkan bahwa;
  • Keadaan ekonomi negara telah mempengaruhi aspek ekonomi sistem pelayanan kesehatan termasuk sistem pembayaran pelayanan kesehatan dan asuransi kesehatan.
  • Makin meningkatnya tuntutan terhadap hasil pelayanan kesehatan yang berkualitas.
  • Ketatnya tuntutan dari profesi keperawatan yang sesuai standar dan pemberdayaan tenaga keperawatan.
  • Dampak perkembangan IPTEK kesehatan telah meningkatkan tekanan terhadap pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien namun aman bagi konsumen (Swansburg & Swansburg, 1999).
Dengan demikian, terwujudnya suatu bentuk pelayanan yang profesional ditentukan oleh berbagai aspek yang perlu diperhatikan oleh setiap pimpinan dan penanggung jawab pelayanan kesehatan demi untuk memnuhi kepentingan masyarakat yang dilayaninya.

Asuhan Keperawatan Bermutu

Asuhan keperawatan profesional diberikan kepada klien oleh tenaga keperawatan yang memiliki kewenangan dan kompetensi yang telah ditetapkan oleh profesi. Asuhan keperawatan ini seyogyanya berlandskan ilmu pengetahuan, prinsip dan teori keperawatan serta keterampilan dan sikap sesuai dengan kompetensi dan kewenangan yang diemban kepada perawat tersebut.

Asuhan keperawatan yang bermutu merupakan asuhan manusiawi yang diberikan kepada klien, memenuhi standar dan kriteria profesi keperawatan, sesuai dengan standar biaya dan kualitas yang diharapkan rumah sakit serta mampu mencapai tingkat kepuasan dan memenuhi harapan klien. Kualitas asuhan keperawatan sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain: kondisi klien, pelayanan keperawatan termasuk tenaga keperawatan di dalamnya, sistem manajerial dan kemampuan rumah sakit dalam melengkapi sarana prasarana, serta harapan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan/keperawatan yang diberikan di rumah sakit tersebut.

Asuhan keperawatan yang bermutu dan dapat dicapai jika pelaksanaan asuhan keperawatan dipersepsikan sebagai suatu kehormatan yang dimiliki oleh para perawat dalam memperlihatkan sebagai suatu kehormatan yang dimiliki oleh perawat dalam memperlihatkan haknya untuk memberikan asuhan yang manusiawi, aman, serta sesuai dengan standar dan etika profesi keperawatan yang berkesinambungan dan terdiri dari kegiatan pengkajian, perencanaan, implementasi rencana, dan evaluasi tindakan keperawatan yang telah diberikan.

Untuk dapat melaksanakan asuhan keperawatan dengan baik seorang perawat perlu memiliki kemampuan untuk (1) berhubungan dengan klien dan keluarga, serta berkomunikasi dengan anggota tim kesehatan lain; (2) mengkaji kondisi kesehatan klien baik melalui wawancara, pemeriksaan fisik maupun menginterpretasikan hasil pemeriksaan penunjang; (3) menetapkan diagnosis keperawatan dan memberikan tindakan yang dibutuhkan klien; (4) mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah diberikan serta menyesuaikan kembali perencanaan yang telah dibuat.

Disamping itu, asuhan keperawatan bermutu dapat dilaksanakan melalui pendekatan metodologis keperawatan. Pendekatan ini dapat berupa pendekatan keperawatan tim, modular, kasus, atau keperawatan primer (Grohar-Murray & DiCroce, 1997). Penetapan pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh visi, misi, dan tujuan rumah sakit dan ruang rawat, ketersediaan tenaga keperawatan baik jumlah mapun kualifikasi, fasilitas fisik ruangan, tingkat ketergantungan dan mobilitas klien, tersedianya prosedur dan standar keperawatan, sifat ruangan dan jenis pelayanan keperawatan yang diberikan.

Dalam mewujudkan asuhan keperawatan bermutu diperlukan beberapa komponen yang harus dilaksanakan oleh tim keperwatan yaitu (1) terlihat sikap caring ketika harus memberikan asuhan keperawatan kepada klien, (2) adanya hubungan perawat - klien yang terapeutik, (3) kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain, dan (4) kemampun dalam memenuhi kebutuhan klien, serta (5) kegiatan jaminan mutu (quality assurance). Dengan demikian, upaya pimpinan rumah sakit dan manajerial keperawatan seyogyanya difokuskan pada kelima komponen kegiatan tersebut yang akan diuraikan berikut ini.

a. Sikap “caring” perawat

Asuhan keperawatan bermutu yang diberikan oleh perawat dapat dicapai apabila perawat dapat memperlihatkan sikap “caring” kepada klien. Dalam memberikan asuhan, perawat menggunakan keahlian, kata-kata yang lemah lembut, sentuhan, memberikan harapan, selalu berada disamping klien, dan bersikap “caring” sebagai media pemberi asuhan (Curruth, Steele, Moffet, Rehmeyer, Cooper, & Burroughs, 1999). Para perawat dapat diminta untuk merawat, namun meraka tidak dapat diperintah untuk memberikan asuhan dengan menggunakan spirit “caring”.

Spirit “caring” seyogyanya harus tumbuh dari dalam diri perawat dan berasal dari hati perawat yang terdalam. Spritit “caring” bukan hanya memperlihatkan apa yang dikerjakan perawata yang bersifat tindakan fisik, tetapi juga mencerminkan siapa dia. Oleh karenanya, setiap perawat dapat memperlihatkan cara yang berada ketika memberikan asuhan kepada klien.

“Caring” merupakan pengetahuan kemanusiaan, inti dari praktik keperawatan yang bersifat etik dan filosofikal. “Caring” bukan semata-mata perilaku. “Caring” adalah cara yang memiliki makna dan memotivasi tindakan (Marriner-Tomey, 1994). “Caring”juga didefinisikan sebagai tindakan yang bertujuan memberikan asuhan fisik dan perhatikan emosi sambil meningkatkan rasa aman dan keselamatan klien (Carruth et all, 1999).

Sikap ini diberikan memalui kejujuran, kepercayaan, dan niat baik. Prilaku “caring” menolong klien meningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik, psikologis, spiritual, dan sosial. Diyakini, bersikap “caring” untuk klien dan bekerja bersama dengan klien dari berbagai lingkungan merupakan esensi keperawatan.

Watson menekankan dalam sikap”caring” ini harus tercermin sepuluh faktor kuratif yaitu:
  • Pembentukan sistem nilai humanistic dan altruistik. Perawat menumbuhkan rasa puas karena mampu memberikan sesuatu kepada klien. Selain itu, perawat juga memperlihatkan kemapuan diri dengan memberikan pendidikan kesehatan pada klien.
  • Memberikan kepercayaan - harapan dengan cara memfasilitasi dan meningkatkan asuhan keperawatan yang holistik. Di samping itu, perawat meningkatkan prilaku klien dalam mencari pertolngan kesehatan.
  • Menumbuhkan sensitifan terhadap diri dan orang lain. Perawat belajar menghargai kesensitifan dan perasaan kepada klien, sehingga ia sendiri dapat menjadi lebih sensitif, murni, dan bersikap wajar pada orang lain.
  • Mengembangan hubungan saling percaya. Perawat memberikan informasi dengan jujur, dan memperlihatkan sikap empati yaitu turut merasakan apa yang dialami klien.
  • Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif klien. Perawat memberikan waktunya dengan mendengarkan semua keluhan dan perasaan klien.
  • Penggunaan sistematis metoda penyalesaian masalah untuk pengambilan keputusan. Perawat menggunakan metoda proses keperawatan sebagai pola pikir dan pendekatan asuhan kepada klien.
  • Peningkatan pembelajaran dan pengajaran interpersonal, memberikan asuhan mandiri, menetapkan kebutuhan personal, dan memberikan kesempatan untuk pertumbuhan personal klien.
  • Menciptakan lingkungan fisik, mental, sosiokultural, dan spritual yang mendukung. Perawat perlu mengenali pengaruhi lingkungan internal dan eksternal klien terhadap kesehatan kondisi penyakit klien.
  • Memberi bimbingan dalam memuaskan kebutuhan manisiawi. Perawat perlu mengenali kebutuhan komperhensif diri dan klien. Pemenuhan kebutuhan paling dasar perlu dicapai sebelum beralih ke tingkat selanjutnya.
  • Mengijinkan terjadinya tekanan yang bersifat fenomologis agar pertumbuhan diri dan kematangan jiwa klien dapat dicapai. Kadang-kadang seseorang klien perlu dihadapkan pada pengalaman/pemikiran yang bersifat profokatif. Tujuannya adalah agar dapat meningkatkan pemahaman lebih mendalam tentang diri sendiri.
Kesepuluh faktor karatif ini perlu selalui dilakukan oleh perawat agar semua aspek dalam diri klien dapat tertangani sehingga asuhan keperawatan profesional dan bermutu dapat diwujudkan. Selain itu, melalui penerapan faktor karatif ini perawat juga dapat belajar untuk lebih memahami diri sebelum mamahami orang lain.
Keperawatan merupakan suatu proses interpersonal yang terapeutik dan signifikan. Inti dari asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien adlah hubungan perawat-klien yang bersifat profesional dengan penekanan pada bentuknya tinteraksi aktif antara perawat dan klien. Hubungan ini diharapkan dapat memfasilitasi partisipasi klien dengan memotivasi keinginan klien untuk bertanggung jawab terhadap kondisi kesehatannya.

b. Hubungan perawat-klien

Hubungan perawat dan klien adalah suatu bentuk hubungan terapeutik/profesional dan timbal balik yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas hasil intervensi keperawatan melalui suatu proses pembinaan pemahaman tentang dua pihak yang sedang berhubungan. Hubungan profesional ini diprakasai oleh perawat melaui sikap empati dan keinginan berrespon (“sense of responsiveness”) serta keinginan menolong klien (“sense of caring”).

Menurut Peplau, dalam membina hubungan profesional ini, kedua pihak seyogyanya harus melewati beberapa tahapan (Marriner-Tomey, 1994) yaitu : (1) tahap orientasi ; (2) tahap identifikasi ; (3) tahap eksploitasi ; dan tahap resolusi.

Pada tahap orientasi, setelah saling memperkenalkan diri, perawat berupaya menolong klien mengidentifikasi maslah yang sedang dihadapi klien. Penjelasan, penekanan perlu dikemukakan oleh perawat agar klien menyakini masalah atau beberapa masalah yang perlu diatasi. Tahap identifikasi terjadi ketika klien mampu mampu mengidentifikasi sesorang atau beberapa orang yang dapat menolongnya. Pada tahap ini perawat memberi kesempatan klien untuk mengkaji lebih jauh perasaan tentang diri, penyakit, dan kemampuan yang dimilikinya.

Tujuannnya adalah agara perawat dapat membimbing klien periode penyakitnya sebagai pengalaman yang memungkinkan klien mengenali kembali perasaan dan kekuatan internal yang pernah dimiliki sehingga dapat memberikan kepuasan yang diperlukan klien.

Tahap eksploitasi terjadi ketika klien mampu menguraikan nilai dan penghargaan yang dia peroleh dari hubungan profesional dari hubungan profesional antara perawat dan dirinya. Beberapa tujuan baru yang perlu dicapai melalui upaya diri klien dapat dikemukakan oleh perawat, dan kekuatan akan dialihkan oleh perawata kepada klien apabila klien mengalami hambatan akibat ia tidak mampu mencapai tujuan baru tersebut.

Tahap akhir dari hubungan profesional perawat - klien adalah tahap resolusi ditandai dengan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dan tidak lagi menjadi prioritas kegiatan klien. Pada tahap ini klien membebaskan diri dari keterkaitannya dengan perawat dan menunjukkan kemampuannya untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan dirinya. Keempat tahapan dalam hubungaan profesional ini dapat terjadi tumpang tindih antara satu tahapan dengan tahapan berikutnya.

Dalam membina hubungan profesional, asuhan keperawatan juga merupakan media edukatif dimana suatu kekuatan internal yang kokoh dari seseorang perawat dapat mempengaruhi klein untuk meningkatkan perilaku dan kepribadian klein selama sakit ke arah kehidupan yang kreatif, konstruktif, dan produktif. Bberapa peran perlu diemban opelh perawat ketika menjalankan dan membina hubungan profesional yaitu : (1) peran sebagai orang asing (“starnger”), (2) narasumber (“resource person”), (3) pendidik (‘teacingrole”), (4) pemimpin (“leadersip role”), dan (5) peran pengganti (“surrogate role”) (Marriner-Tomey, 1994).

Keberhasilahn hubungan profesional/terapeutik anatara perawat dan klien sangat menentukan keberhasilan hasil tindakan yang diharapkan. Disamping itu, hubungan profesional yang baik anatara perawat-klien dapat menghindari, memprediksi, dan mengantisipasi berbagai penyulit yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, berbagai peran diatas seyogyanya menjadi fokus perhatian perawat ketika menolong klien melewati tahapan dlam hubungan profesionalnya dengan perawat (Nurachah, 2000).

c. Kemampuan perawat dalam memenuhi kebutuhan klien

Asuhan keperawatan bermutu marupakan rangkaian kegiatan keperawatan yang diorientasi pada klein. Asuhan keperawatan bermutu yang diberikan kepada klien dipengaruhi oleh kemampuan perawat dalam berrespon terhadap keluhan dan masalah klien serta upaya memenuhi kebuutuhan klien. Hendreson menetapkan 14 kebutuhan klien yang seyogyanya dapat dipenihi oleh perawat (Marriner-Tomey, 1994). Namun, karena masalah klien sangat unik dan kebutuhannya sangat individual maka perawat senatiasa harus meningkatkan diri agar selalu memiliki kemapuan dan pengetahuan yang diperlukan dalam membantu klien menyelesaikan masalahnya.

Kemampuan perawat memenuhi kebutuhan klien dapat dipengaruhi beberapa oleh faktor antara lain: tingkat ketergantungan klien, sistem penugasan, kelengkapan fasilitas, kewenangan dan kompetensi yang dimiliki oleh tanaga keperawatan sebagai pelaksana dan kemampuan manajer keperawatan adalam mengorganisasikan pekerjaan kepada bawahan.

Seorang perawat profesional yang telah dibekali dengan pengetahuan mengelola pelayanan keperawatan dan keterampilan klinis yang mamadai akan mampu mengorganisir dan menyesuaikan antara pekerjaan yang akan dilaksanakan, sarana yang tersedia, dan kemampuan tenaga perawatnya. Selain itu dalam mengelola ruangan khususnya tenaga keperawatan, maka perawat manajer juga harus mampu menjamin bahwa para perawat pelaksana memiliki kemampuan untuk meberikan asuhan keperawatan bermutu. Untuk itu ia harus merancang program peningkatan kemapuan perawata baik melalui jalur pendidikan formal maupun informal.

Peningkatan kemampuan perawat melalui jalur formal dapat ditempuh melalui berbagai tingkatan yaitu pendidikan ners generalis, ners spesialis, mapun ners konsultan. Selain itu, dapat ditempuh melalui jalur informal yaitu program pendidikan perawat berlanjut (“continuing nurse education”). Program ini dapat diselenggarakan oleh rumah sakit bekerja sama dengan institusi pendidikan tinggi keperawatan dan dengan organisasi profesi. Kedua program peningkatan kemampuan perawat ini memerlukan suatu rancangan ketenagaan yang matang dan sesuai dengan visi dan misi serta tujuan rumah sakit.

Disamping kedua jalur pendidikan tersebut di atas, kemapuan dan pengetahuan perawat dapat juga dicapai melalui kegiatan komunitas profesi di rumah sakit. Komunitas profesi ini memfasilitasi dan menyelenggaarakan berbagai kegiatan ilmiah antara lain diskusi kasus, pembahasan jurnal keperawatan, artikel/riset keperawatan, dan melakukan riset keperawatan klinik bersama atau individual. Selain itu, sistem menorship atau perceptorship akan dapat membantu mewujudkan situasi kerja yang kondusif untuk belajar bagi semua pearawat.

d. Kolaborasi/kemitraan

Kaloborasi merupakan salah satu model interaksi yang terjadi diantara dan antar praktisi klinik selama pemberian pelayanan kesehatan/keperawatan. Kolaborasi meliputi kegiatan berkomunikasi parallel, berfungsi parallel, bertukar informasi, berkoordinasi, berkonsultasi, mengelola kasus bersama (ko-manajemen), serta merujuk.

Kolaborasi merupakan suatu pengakuan keahlian seseorang oleh orang lain di dalam maupun di luar profesi orang tersebut (ANA, 1995, 12). Kaloborasi ini juga merupakan proses interpersonal dimana dua orang atau lebih membuat suatu komitmen untuk berinteraksi secara kontruktif untuk menyelesaikan masalah klien dan mencapai tujuan, target atau hasil yang ditetapkan.

Para individu ini mengenali dan mengartikulasikan nilai-nilai yang membuat komitmen ini menjadi terwujud. Kemampuan mewujudkan komitmen untuk berinteraksi secara kontruktif tergantung dari persamaan persepsi, tentang tujuan bersama, kompetensi klinik, dan kemapuan interpersonal, humor, keprcayaan, menghargai dan menghormati pengetahuan dan praktik keilmuan yang berbeda (Hanson & Spross, 1996).

Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kreiteria yaitu (1) adanya rasa saling percaya dan menghormati, (2) saling memahami dan menerima keilmuan masing-masing, (3) memiliki citra diri positif, (4) memiliki kematangan profesional yang setara (yang timbul dari pendidikan dan pengalaman), (5) mengakui sebagai mitra kerja bukan bawahan, dan (6) keinginan untuk bernegosiasi (Hanson & Spross, 1996).

Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling tergantung (interdependensi) untuk kerja sama dan bekerja sama. Bekerja bersama dalam suatu kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama mencerminkan proses koordinasi pekerjaan agar tujuan auat target yang telah ditentukan dapat dicapai. Selain itu, menggunakan catatan klien terintegrasi dapat merupakan suatu alat untuk berkomunikasi anatar profesi secara formal tentang asuhan klien.

e. Kegiatan menjamin mutu

Asuhan keperawatan bermutu hanya dapat dicapai dan dipertahankan apabila disertai dengan kegiatan dan rencana untuk mempertahankan mutu asuhan tersebut. Kegiatan jaminan mutu (“quality assurance”) adalah membandingkan antara standar yang telah ditetapkan dengan tingkat pencapaian hasil.

Kegiatan jaminan kualitas pelayanan/asuhan keperawatan merupakan kegiatan menilai, memantau, atau mengatur pelayanan yang berorientasi pada konsumen (klien). Dalam keperawatan, tujuan asuhan bermutu adalah untuk menjamin mutu sambil pada saat yang sama mencapai tujuan institusi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Keberhasilan pelaksanaan kegiatan menjamin mutu dipengaruhi oleh beberapa faktor anatara lain dukungan dari manager puncak (pimpinan rumah sakit), terutama terkait dengan dukungan biaya dan sumebr daya manusia. Selain itu, pencapaian kriteria keberhasilan perlu disepakati. Seandainya instuisi menginginkan pelayanan keperawatan adalah pelayanan terbaik di suatu wilayah, maka standar dan kriteria keberhasilannya perlu ditetapkan optimal dan bukan minimal.

Kegiatan jaminan mutu dapat meliputi aspek struktur, proses, dan outcome. Kegiatan penilaian dan pemantauan dalam pelayanan keperawatan juga selayaknya diarahkan pada ketiga aspek tersebut. Oleh karena itu, standar pelayanan, kriteria keberhasilan, alat pengukur perlu dikembangkan, dan tahapan dlam pelaksanaan kegiatan menjamin mutu perlu ditetapkan.

Strategi untuk kegiatan jaminan mutu antara lain dengan benchmarking dan manajemen kualitas total (total quality management) (Marquis & Huston, 1998). Benchmarking atau meneliti praktik terbaik (“best practice research”) adalah kegaiatan mengkaji kelemahan tertentu instiusi dan kemudian mengidentifikasi instuisi lain yang memiliki keunggulan dalam aspek yang sama. Kegaiatan dilanjutkan dengan berkomunikasi, menetapkan kesepakatan kerjasama untuk mendukung dan meningkatkan kelemahan tersebut (Marquis & Huston, 1998).

Manajer pelayanan keperawatan di rumah sakit dapat pula bekerjasama dengan rumah sakit lain yang tidak saling berkompetensi untuk meningkatkan satu atau beberapa aspek yang dianggap lemah. Kerjasama ini bersifat konfidensial dan hanya meningkatkan aspek yang dianggap masih lemah.

Manajemen kualitas total dilakukan berdasarkan harapan bahwa individu merupakan fokus produksi dan pelayanan. Penakanan manajeman kualitas total adalah mengidentifikasi dan melakukan kegiatan dengan benar, cara yang benar, waktu yang sesuai dan mencegah masalah. Strategi menjamin kualitas ini sangat menyerap biaya karena proses ini terus menerus, dan setiap subyek maupun kegiatan diarahkan pada peningkatan secara berkesinambungan.

Strategi lain dari kegiatan jaminan mutu ynag bersifat kontemporer adalah penggunaan “critical patways”. Critical pathways adalah menetapkan kemajuanj yang harus dicapai klien sejak saat klien diterima di rumah sakit. Keuntungan cara ini adalah standar pencapaian yang ditetapkan untuk seorang klien dapat diterapkan untuk klien lain yang berdiagnosis sama. Namun, kelemahannya adalah tidak dapat mengakomodasi keunikan individual klien. Selain itu, pendokumentasian critical pathways memerlukan banyak catatan dan pengkajian ulang (Marquis & Huston).

Pelaksanaan kegiatan jaminan mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit dapat pula dilakukan dalam bentuk kegiatan pengendalian mutu (“quality control”). Kegaiatannya dapat dilaksanakan dalam dua tingkat yaitu tingkat rumah sakit dan tingkat ruang rawat. Tingkat rumah sakit dapat dilaksanakan dengan cara mengembangkan tim gugus kendali mutu yang memiliki program baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Kegiatan menilai mutu pada tingkat rumah sakit, akan diawali dengan penetapan kriteria pengendalian, mengidentifikasi informasi yang relevan dengan kriteria, menetapkan cara mengumpulakan informasi/data, mengumpulkan dan menganailisis informasi/data, membandingkan informasi dengan kriteria yang telah ditetapkan, menetapkan keputusan tentang kualitas, memperbaiki situasi sesuai hasil yang diperoleh, dan menetapkan kembali cara mengumpulkan informasi (Marquis & Huston, 2000).

Ada 10 indikator kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit yaitu : (1) angka infeksi nosokomial, (2) angka kejadian klien jatuh/kecelakaan, (3) tingkat kepuasan klien terhadap pelayanan kesehatan, (4) tingkat kepusan klien terhadap pengelolaan nyeri dan kenyamanan, (5) tingkat kepuasan klien terhadap informasi/pendidikan kesehatan, (6) tingkat kepuasan klien terhadap asuhan keprawtan, (7) upaya mempertahankan integritas kulit, (8) tingkat kepasan perawat, (9) kombinasi kerja anatara perawat profesional dan non profesional, (10) total jam asuhan keperawatan per klien per hari (Marquis & Huston, 1998).

Pada tingkat ruangan, selain ada individu ruangan yang duduk sebagai wakil pada tim gugus kendali mutu rumah sakit, maka seyogyanya dibentuk pula tim ruangan yang disebut tim sirkulasi kualitas. Tim sirkulus kualitas yang terdiri dari tiga sampai empat orang perawat ruangan ini berfungsi untuk mengidentifikasi masalah-masalah pelayanan keperawatan tingkat ruangan, membahas masalah di dalam tim, menyusun beberapa alternatif solusi, dan menyampaikan kepada kepala ruangan untuk ditetapkan solusi yang akan diambil dan dilaksanakan oleh ruangan. Sementara itu, tim ini akan bekerjasama kembali mengidentifikasikan masalah-masalah lain yang terjadi. Siklus kegiatan akan berjalan seperti sebelumnya.

Faktor yang perlu dipertimbangkan

Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan oleh para manajer keperawatan di rumah sakit dalam meningkatkan dan mempertahankan asuhan keperawatan yang bermutu yaitu persepsi dari klien, profesi keperawatan, dan dari pimpinan rumah sakit. Berbagai persepsi ini perlu untuk dijadikan asupan dan dikaji lebih lanjut untuk menetapkan kegiatan peningkatan kualitas asuhan keperawatan. Berikut ini dijelaskan tentang persepsi dari ketiga pihak tersebut.

Persepsi klien tentang asuhan keperawatan bermutu dan tingkat kepuasan

Asuhan keperawatan bermutu dipersepsikan klien dan keluarga sebagai pelayanan yang dapat memenuhi harapan klien. Klien mengharapkan penghargaan atas uang yang telah mereka berikan dan mengharapkan kualitas pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan. Pada saat ini makin banyak klien yang menuntut untuk diberikan informasi tentang kondisi kesehatannya dan keputusan yang terkait dengan tindakan medik/keperawatan yang akan diterimanya. Perhatian mereka diarahkan seluruhnya pada spektrum pelayanan kesehatan yang merka terima selama berada di rumah sakit (Wesley, 1992).

Klein menghargai perawat sebagai seseorang yang memiliki kualitas diri, sikap, cara dan kepribadian yang spesifik, serta selalu berada dengan klien dan bersedia setiap saat menolong klien (Kitson, 1998). Perawat diharapkan perannya untuk selalu berada di saping tempat tidur klien, siap setiap saat ketika diperlukan, cepat tanggap terhadap berbagai keluhan, dan turut melaksanakan apa yang klien sedang alami.

Klien menginginkan perawat yang melayaninya memiliki sikap baik, murah senyum, sabar, mampu berbahasa yang mudah difahami, serta berkeinginan menolong yang tulus dan mampu menghargai klien dan pendapatnya. Mereka mengharapkan perawat memiliki pengetahuan yang memadai tantang kondisi penyakitnya sehingga perawat mampu mengatasi setiap keluhan yang dialami oleh individual klien (Meyers & Gray, 2001).

Selama perawatan di rumah sakit, klein yang sedang mengalami kondisi kritis kadang-kadang menganggap dirinya berada di luar tubunh dan lingkungannya. Kesatua erat antara diri dan tubuhnya menjadi terganggu. Ia mengganggap tubuhnya merupakan benda asing yang sering tidak bisa bekerjasama lagi selama sakitnya (Morse, Bottorff, & Hutchinson, 1995). Hal ini menyebabkan ia merasa sangat tergantung pada perawat. Bagi klien dalam kondisi seperti apapun perawat tidak memiliki hak untuk menolak keinginan dan harapan klien (Kitson,1998).

Kepuasan klien merupakan suatu situasi dimana klien dan keluarga mengganggap bahwa biaya yang dikeluarkan sesuai dengan kualitas pelayanan yang diterima dan tingkat kemajuan kondisi kesehatan yang dialaminya. Mereka merasa pelayanan yang diberikan merupakan penghargaan terhadap diri dan kehormatan yang dimilikinya. Selain itu mereka merasakan manfaat lain setelah dirawat yaitu pengetahuan tentang penyakit dan dirinya menjadi bertambah. Namun sebaliknya, klien jarang untuk mencoba mempertimbangkan apakah pelayanan keperawatan yang diberikan itu merupakan upaya yang efektif dan efisien dilihat dari segi waktu, tenaga, dan sumber daya yang digunakan (Wensley, 1992).

Persepsi profesi keperawatan tentang asuhan keperawatan bermutu

Asuhan keperawatan bermutu menurut persepsi para pelaksanan keperawatan akan dapat dipenuhi tergantung dari beberapa faktor yaitu : (1) apabila perawat diberikan kewenangan utuh untuk mendesain, mengatur, melaksanakan, dan mengevaluasikan pelayanan keperawatan yang diberikan ; (2) pelayanan keperawatan diberikan dalam lingkungan kerja praktik keperawatan profesional ; (3) kualifikasi dan jumlah tenaga keperawatan memadai ; (4) tersedianya sarana dan prasarana yang dapat memperlancar kegiatan keperawatan seperti peralatan medik (obat-obatan, set infus, katater, dll), peralatan keperawatan (alat tenun cukup, materi pencegahan infeksi, nosokomial, dll), peralatan pendukung keperawatan (formulir rencana keperawatan, dll); (5) diberlakukannya sistem penghargaan (promosi dan kompensasi) memadai yang memungkinkan perawat tidak harus berpikir tentang kepentingan diri, pendidikan, dan masa depan karirinya.

Asuhan keperawatan yang bermutu dapat dicapai apabila perawat yang memberikan asuhan tersebut memiliki kompetensi dan kewenangan melalui pendidikan keperawtan yang sesuai. Menurut Lydia Hall, yang mengembangkan teori care, core dan cure serta Henderson yang mengembangkan model pemenuhan 14 kebutuhan klien bahwa hanya perawat yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi keperawatan yang mampu memberikan asuhan keperawatan profesional, karena mereka telah dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan masalah klien secara memadai (Marriner-Tomey,1994).

Persepsi manajer RS terhadap asuhan keperawatan bermutu

Palayanan kesehatan yang bermutu termasuk pelayanan keperawatan adlah pelayanan yang diberikan oleh tim kesehatan dimana pelayanan tersebut diberikan secara efektif dan efisien. Bagi manajer rumah sakit, kualitas dinilai dari besaran biaya yang terkendali. Selain itu, menurut manajer rumah sakit, asuhan keperawatan bermutu dapat dicapai apabila perawat memperlihatkan kinerjanya dengan baik, patuh pada pimpinan, melaksanakan keinginan klien, dan ramah terhadap klien serta keluarganya. Disamping itu, perawat juga ditekankan untuk menggunakan sumber-sumber secara efisien.

Asuhan keperawatan yang bermutu sering dipersepsikan memiliki indikator tunggal yaitu tingkat kemampuan tenaga keperawatan dalam memberikan pelayanan kepada klien. Asuhan keperawawatan yang tidak sesuai dengan harapan klien. Keperawatan menjadi kambing hitam yang tidak berdaya. Hal ini karena tenaga keperawatan merupakan tenaga kesehatan yang berada paling lama bersama klien.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa asuhan keperawatan tidak dapat dilaksanakan dengan baik apabila situasi dan proses kegiatan pelaksanaan pekerjaan tidak memadai. Oleh karena itu, sudah selayaknya pimpinan rumah sakit memberikan cukup perhatian pada kondisi kerja yang dapat memprihatinkan yang berpotensi menimbulkan ketidak-puasan kerja sehingga dapat menurunkan kualitas pelayanan (Reuters Health, 2001).

Kendala dalam mewujudkan asuhan keperawatan bermutu

Asuhan kesehatan bermutu dapat diwujudkan apabila terdapat di rumah sakit khususnya keperawatan. Upaya untuk mewujudkan asuhan keperawatan bermutu tidak selalu dapat berjalan lancar. Ada beberapa kendala yang perlu diperhatikan oleh setiap pimpinan rumah sakit dan para manajer keperawatan di rumah sakit, yaitu;
  • Perubahan status rumah sakit menjadi perusahaan jawatan swadana. Perubahan ini menjadi rumah sakit memiliki nilai sosial yang minimal dan mulai berorientasi pada profit. Pada situasi seperti ini rumah sakit akan menakankan efisiensi dan efektifitas. Kualitas pelayanan yang sifatnya kompetitif harus dapat dicapai dalam rentang biaya yang terkendali (“cost containtment”).
  • Kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan khususnya keperawatan. Dengan adanya anggaran biaya yang terkendali pimpinan rumah sakit akan lebih berfokus pada penyediaan pelayanan dan peralatan yang bernilai jual tinggi.
  • Pemahaman pimpinan rumah sakit tentang pelayanan keperawatan profesional dimana bentuk praktik keperawatan profesional. Banyak pimpinan rumah sakit yang tidak memahami praktik keperawtan profesional dimana bentuk praktik ini memungkinkan perawat memiliki otonomi penuh terhadap pelayanan yang diberikan.
  • Pemahaman para perawat pelaksana tentang visi, misi, dan tujuan rumah sakit. Kurangnya sosialisasi tentang visi, misi, dan tujuan rumah sakit menyebabkan perawat pelaksana tidak memahami arah dan tujuan yang akan dicapai.
  • Ketersediaan tenaga perawat profesional yang mampu melaksanakan asuhan keperawtan profesional. Banyak rumah sakit yang lebih tenaga keperawatan profesional dibandingkan dengan profesional. Perawat non profesional dibandingkan yang dapat dipertanggung jawabkan dan hanya menjalankan instruksi tim medik sehingga asuhan keparawatan menjadi terfragmentasi dan tidak manusiawi.
  • Kewenangan yang dimiliki oleh bidang keperawatan dalam mendesain, mengatur, melaksanakan, dan menilai sistem pelayanan keperawatan di rumah sakit. Bidang keperawatan tidak memiliki kewenangan penuh terhadap bidang tanggung jawabnya menyebabkan pengambilan keputusan menjadi terhambat dan pelaksanaan tindakan menjadi tidak lancar.
  • Pemahaman manajer keperawatan tentang peran yang diemban. Masih banyak kepala bidang keperawatan yang tidak menyadari perannya sebagai pemantau kualitas kinerja dan pelayanan keperawatan , sebagai supervisor ruangan yang aktif, fasilitator pendidikan keperawatan berlanjut, koordinator pelaksana berbagai kebijakan rumah sakit, inisiator perubahan, negosietor, fasilitator dan motivasor kinerja serta iklim kerja yang kondusif, collective bargainer dan problem solver.
  • Sistem penghargaan bagi tenaga keperawatan. Banyak rumah sakit yang belum membakukan sistem penghargaan yang dapat memotivasi kinerja keperawatan.
  • Pengakuan keprofesian keperawatan. Keperawatan masih belum diakui secara penuh sebagai profesi kesehtan sehingga menimbulkan keragu-raguan dikalangan keprawatan untuk dapat berkontribusi seperti anggota profesi kesehatan lain.
  • Penghargaan masyarakat. Perawat dihargai secara tinggi karena perawatan dan dukungan psikososial yang telah diterima masyarakat. Namun masyarakat masih belum menghargai perawat seperti mereka menghargai dokter.
  • Metoda kombinasi tenaga profesional dan non profesional keperawatan. Banyak rumah sakit yang mengkombinasikan tenaga keperawatan profesional dan non profesional dalam proporsi yang memprihatinkan sehingga menyulitkan terwujudnya asuhan keperawatan bermutu.
Semua kendala di atas memerlukan pemikiran dan tindak lanjut yang tegas dan jelas agar tujuan rumah sakit untuk mewujudkan pelayanan keperawatan yang bermutu dapat dicapai. Untuk itu, diperlukan terobosan dan partisipasi aktif dari seluruh komponen rumah sakit. Selain itu, komitmen dan keterbukaan diantara pimpinan rumah sakit dan bidang keperawatan perlu ditingkatkan untuk mempermudaah upaya pencapaian tujuan.

Penutup

Pelayanan keperawatan di rumah sakit merupakan bagian utama dari pelayanan kesehatan yang diberikan kepada klien. Oleh karena itu, kualitas pelayanan kesehatan sangat ditentukan oleh kualitas pelayanan keperawatan. Kualitas pelayanan keperawatan dipengaruhi oleh keefektifan perawat dalam memberikan asuhan kepada klien. Berbagai persepsi tentang kualitas asuhan perlu menjadi asupan positif bagi para manajer keperawatan. Hal ini agar tujuan rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan berkualitas dapat dipenuhi.

Asuhan keperawatan bermutu dapat diberikan oleh tenaga keperawatan yang telah dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan klinik yang memadai serta memiliki kemapuan : mebina hubungan profesional dengan klien, berkolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain, melaksanakan kegiatan menjamin mutu, kemampuan memenuhi kebutuhan klien, dan memperlihatkan sikap”caring”. Asuhan keperawatan bermutu seyogyanya berorientasi pada klien sehingga klien dapat mencapai tingkat kepuasan terhadap pelayanan yang diterima.

Beberapa kendala dapat terjadi dan menghambat terwujudnya asuhan keperawatan bermutu. Namun demikian, upaya yang bersifat manajerial dan non manajerial dapat dilakukan untuk meminimalisasi kendala tersebut.

Prof. Dra Elly Nurachmah DNSc
Kamis, 21 Jun 2001 17:05:57

Disajikan pada Seminar Keperawatan
RS ISLAM Cempaka Putih Jakarta
2 Juni 2001


Baca selengkapnya...

Tuesday, January 16, 2007

Menelusuri Jejak Dunia Keperawatan dalam Sejarah Islam (Mengenal lebih dekat : Rufaidah binti Sa'ad)

Kegiatan pelayanan keperawatan berkualiatas telah dimulai sejak seorang perawat muslim pertama yaitu Siti Rufaidah pada jaman Nabi Muhammad S.A.W, yang selalu berusaha memberikan pelayanan terbaiknya bagi yang membutuhkan tanpa membedakan apakah kliennya kaya atau miskin. 1).(Elly Nurahmah, 2001). Ada pula yang mengenal sebagai Rufaidah binti Sa'ad/Rufaidah Al-Asalmiya dimana dalam beberapa catatan publikasi menyebutkan Rufaidah Al-Asalmiya, yang memulai praktek keperawatan dimasa Nabi Muhammad SAW adalah perawat pertama muslim (Kasule, 2003; Mansour & Fikry, 1987). Sementara sejarah perawat di Eropa dan Amerika mengenal Florence Nightingale sebagai pelopor keperawatan modern, Negara di timur tengah memberikan status ini kepada Rufaidah, seorang perawat muslim (Jan, 1996). Talenta perjuangan dan kepahlawanan Rufaidah secara verbal diteruskan turun temurun dari generasi ke generasi di perawat Islam khususnya di Arab Saudi dan diteruskan ke generasi modern perawat di Saudi dan Timur Tengah 2) (Miller Rosser, 2006)

Tulisan Sdr. Nurmartono selengkapnya, silahkan klik...


Baca selengkapnya...

Monday, January 15, 2007

The TOP 10 Qualities of a Good Nurse Manager

Thompson addressed 10 qualifies as The TOP 10 Qualities of a Good Nurse Manager. Do you want to become a good nurse manager?

1. The number-one quality a good nurse manage must have : respect staff as professionals

Nothing is worse than being treated like a child in the work-place. A manager who disrespects her staff, especially in front of others, loses staff respect in return. Nurse managers should refrain from micromanagement; nurses are professionals who can think for themselves. Restraining or limiting nurses because of a lack of trust is deadly to the relationship between staff and manager. Nursing autonomy is promoted at the professional level; it must be promoted at the managerial level as well.

2. Set standards and a clear professional example.

Nurses are expected to behave professionally, and the same holds true for managers. A nurse manager needs to be professional in her appearance, language, and behavior, just as a staff nurse must be. Coming to work disheveled or inappropriately dressed, using improper language, or failing to follow standards for attendance or behavior are a few examples of the do-what-I-say-and-not-what-I-do double standard. What goes for the nurse must go for the manager.

3. Be organized, yet creative and flexible.

Many workers have unusual organizational methods, but employees are effected when a nurse manager can't find an evaluation or forgets a deadline. The manager needs to be organized in a way that her staff can follow. She also needs to establish clear rules that she must be willing to adjust when necessary. For example, if a nurse's child has a school event that conflicts with the posted schedule, the manager must understand its importance and try to resolve the dilemma. Of course, the manager must also recognize when staff members abuse such flexibility and set limits accordingly.

4. Be an effective decision maker, as well as a conflict and crisis manager.

The nursing staff expects the manager to make intelligent decisions when conflicts and problems arise. For example, managers should expect employees to attempt to resolve conflicts among them-selves. But manager needs to realize that she might be asked to assist. No one likes confrontations, but nurse managers who shrink from problems will only create more discord among the staff. When a serious problem arises on the unit, the nurse manager is looked to for leadership and support. If the manager responds by disappearing, crying, or exploding, the staff has diminished resources for handling problems. Timeliness is another factor. If the nurse manager judges too quickly or delays decisions, the entire unit suffers. Nursing staff and administrators agree that the ability to make good decisions is essential for a successful nurse manager.

5. Motivate and empower staff

Change is a necessary part of business, even the business of health care. The nurse manager needs to find ways to motivate and involve staff. If a nurse manager displays a hopeless, cynical, or dispassionate attitude, so will the staff nurses. The effective nurse manager is involved with the nursing staff on all levels, welcomes their input, and works with them to ensure excellence, create autonomy, and increase job satisfaction and opportunities for advancement.

6. Have a good sense of humor

Nursing is one of the toughest and most stressful jobs around. Tension can become so overwhelming that laughing is the only alternative to crying. An affective manager understands this; we are all human, and sometimes appropriate humor can be the healthiest and most compassionate way to help staff and patients cope.

7. Be honest, fair, consistent, and reasonable

Lying is one of the quickest ways to break someone's trust, as is showing favoritism toward particular members of the staff. Deceit of any kind is devastating to the relationship between manager and staff. A good nurse manager knows that consistency matters-working for an unpredictable manager escalates tension and inhibits work. Being unreasonable in expectations and day-to-day dealings can also be harmful. A manager who wants to have an effective and cohesive team needs to be up front, realistic, and fair when it comes to interactions and expectations. Honest, sincere communication is always the best practice.

8. Be reliable resource and staff advocate

A nurse manager needs to have a solid clinical background, preferably in the specialty of the staff. Administrators often feel this is not necessary as long as the manager possesses strong managerial skills. From a staff nurse's perspective, however, respect is lost if the manager is out of touch with what the specialized nursing staff does. The manager also needs to support nursing staff. A manager who does not back up staff loses their respect. A manager who supports staff and is an advocate for them gains loyalty.


9. Be available and accessible to staff

Admittedly, meetings and other managerial responsibilities are important, but the nursing staff needs to know that the manager is available when needed. Acknowledging and incorporating staff suggestions, whenever possible, is also important to nurses.

10. Be a great communicator

Effective communication is one of the most important tools for a leader or manager. Information should be conveyed in a clear manner. Staff should be informed of expectations and upcoming changes (not reprimanded after they've unknowingly done it wrong), be given timely and accurate information and updates, be listened to, and receive positive feedback, one of the most frequent complaints from nurses is that their managers only talk to them when they are in trouble. The nursing professions has a reputation for "eating its young," and breaking this cycle can begin with positive interactions from the nurse manager.

While it's the responsibility of the nurse manager to develop these qualities, staff nurses have a role in fulfillment of the top-10 list as well. What can staff nurses do to support these qualities in their nurse managers?

First, seek educational and practice opportunities to develop these attributes personally.

Second , communicate honestly with the nurse manager about your professional needs. Let the manager know what it is you need to be successful in providing good nursing care.

Third, patiently allow for mistakes and misjudgments, just as you would like manager to do for you. Above all, show respect, support, and appreciation especially when the manager has exhibited or practiced one of the qualities of a great nurse manager.
It's logical that a good nurse manager will attract and retain nurses, and a bad one will drive them away. In light of the current nursing shortage, this issue becomes particularly important. What separates the good from the bad? Nurse managers who want to keep nurses will make it a priority to find out. Staff nurses who want good nurse managers will make it a priority to help them become so.

By Sandra A. Thompson, RN., BSN.
AMERICAN JOURNAL NURSING, AGUST 2004, VOL. 104, NO. 8.

Baca selengkapnya...

Saturday, November 11, 2006

Membuat Evaluasi Program Puskesmas dengan Analisis SWOT



Analisis SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats) atau di-Indonesiakan menjadi analisis KEKEPAN (Kekuatan-Kelemahan-Kesempatan-Ancaman) sudah sangat umum dikenal dan mudah untuk dilakukan. Tulisan ini akan menyajikan cara menyusun analisis SWOT secara sederhana. Selamat menikmati...

A. PENGERTIAN

PROSES MANAJEMEN STRATEGIS adalah sebuah proses delapan langkah yang mencakup perencanaan strategis, pelaksanaan atau penerapan dan evaluasi.

ANALISIS adalah suatu kegiatan untuk memahami seluruh informasi yang terdapat pada suatu kasus, mengetahui isu apa yang sedang terjadi, dan memutuskan tindakan apa yang harus segera dilakukan untuk memecahkan masalah.

ANALISIS SWOT adalah suatu bentuk analisis situasi dengan mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis terhadap kekuatan-kekuatan (Strengths) dan kelemahan-kelemahan (Weaknesses) suatu organisasi dan kesempatan-kesempatan (Opportunities) serta ancaman-ancaman (Threats) dari lingkungan untuk merumuskan strategi organisasi.

KEKUATAN (Strengths) adalah kegiatan-kegiatan organisasi yang berjalan dengan baik atau sumber daya yang dapat dikendalikan.

KELEMAHAN (Weaknesses) adalah kegiatan-kegiatan organisasi yang tidak berjalan dengan baik atau sumber daya yang dibutuhkan oleh organisasi tetapi tidak dimiliki oleh organisasi.

KESEMPATAN (Opportunities) adalah faktor-faktor lingkungan luar yang positif.

ANCAMAN (Threatss) adalah faktor-faktor lingkungan luar yang negatif.

MATRIK SWOT adalah alat untuk menyusun faktor-faktor strategis organisasi yang dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi organisasi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya.

IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary) adalah ringkasan atau rumusan faktor-faktor strategis internal dalam kerangka KEKUATAN (Strengths) dan KELEMAHAN (Weaknesses).

EFAS (External Strategic Factors Analysis Summary) adalah ringkasan atau rumusan faktor-faktor strategis eksternal dalam kerangka KESEMPATAN (Opportunities) dan ANCAMAN (Threats).

STRATEGI SO adalah strategi yang ditetapkan berdasarkan jalan pikiran organisasi yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.

STRATEGI WO adalah strategi yang ditetapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.

STRATEGI ST adalah strategi yang ditetapkan berdasarkan kekuatan yang dimiliki organisasi untuk mengatasi ancaman.

STRATEGI WT adalah strategi yang ditetapkan berdasarkan kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

B. PROSEDUR :

Pahami situasi dan informasi yang ada dengan melihat data eksternal maupun data internal. Informasi dapat bersifat sebagai data numerik, hasil observasi, atau hasil wawancara. Data eksternal dapat diperoleh dari lingkungan di luar Puskesmas, misalnya : data kependudukan, geografis, sosial budaya, kesehatan, biologi lingkungan dan lain-lain. Data internal dapat diperoleh dari dalam Puskesmas, misalnya : SP2TP, PWS-KIA, PWS-Imunisasi, Stratifikasi Puskesmas, SKDN, dan lain-lain.

Pahami permasalahan yang terjadi. Baik masalah yang bersifat umum maupun spesifik kesehatan.

Buatlah Matrik SWOT

Dalam sel KESEMPATAN (O), Tentukan 5-10 faktor peluang eksternal yang dihadapi Puskesmas. Sel ini harus mempertimbangkan perangkat perundangan yang terkait dan sebagai salah satu faktor strategis

Dalam sel ANCAMAN (T), Tentukan 5-10 faktor ancaman eksternal yang dihadapi Puskesmas.

Dalam sel KEKUATAN (S), Tentukan 5-10 faktor kekuatan internal yang dimiliki Puskesmas baik yang ada sekarang maupun yang akan datang.

Dalam sel KELEMAHAN (W), Tentukan 5-10 faktor kelemahan internal yang dimiliki Puskesmas.

Buatlah kemungkinan strategis dari Puskesmas atau menciptakan berbagai alternatif pemecahan masalah berdasarkan pertimbangan kombinasi empat sel faktor strategis tersebut :
a. Dalam sel STRATEGI S-O, ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
b. Dalam sel STRATEGI S-T, ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
c. Dalam sel STRATEGI W-O, ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
d. Dalam sel STRATEGI W-T, ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman

Evaluasi pilihan alternatif dan pilih alternatif yang terbaik dengan mempertimbangkan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki Puskesmas

Referensi :

Rangkuti F., 2002, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Robbins S.P. & Coulter M., 1999, Manajemen, Edisi ke-6, Jakarta : PT. Prenhallindo.


Baca selengkapnya...

Friday, October 20, 2006

Penerapan Komunikasi Terapeutik untuk Mengoreksi Perilaku Klien Rawat Jalan dengan Diabetes Mellitus

ABSTRACT

Therapeutic communications improve interpersonal relationship with client so that will be created a conducive atmosphere where client can express his feelings and his expectations easily. The condition will water down execution and efficacy of medication programs. This research aim to know the influence of giving therapeutic communications to behaviors of patient with diabetes mellitus along with his aspects.

Research type was a quation experiment which executed by longitudinal. Research used one group before and after intervention design. Research sample was 68 outpatients with diabetes mellitus at RSU Dr. Sardjito Yogyakarta. Data change of patient behaviors before and after giving a nurse intervention analyzed with Mc-Nemar test and Fisher Exact test (p= 0,05).

The giving therapeutic communications influenced to all of variables. There were patient knowledge ( X2 = 7,521 ; p = 0,006), patient feelings to his suffered and medication program ( X2 = 10,028 ; p = 0,002); compliance of patient in medication ( p = 0,004); and also behavior of patient ( X2 = 26,036 ; p = 0,000). Thereby researcher suggest that (1) therapeutic communications should be applied in outpatient unit to reduce patient incompliance in medication program, especially for patient with chronicle disease; (2) nurse should behave therapeutic manner so it can create a trusting to each other condition between patient and nurse. Finally it makes easy for execution and efficacy of medication program; (3) nurse always sharpen her therapeutic communication skills, including an ability in expressive touch.
Keywords: therapeutic communications, patient behavior, compliance



Latar Belakang Masalah

Diabetes melitus merupakan salah satu jenis penyakit kronis sebab penyakit tersebut akan menimbulkan perubahan yang permanen pada kehidupan setiap individu (Stuart G.W. & Sundeen S.J., 1995). Perawatan pada seseorang yang memiliki penyakit kronis merupakan tantangan bagi tenaga perawat, sebab mereka tidak hanya menghendaki intervensi medis untuk memulihkan fungsi fisiknya akan tetapi mereka juga menghendaki perawat yang sensitif terhadap kebutuhan yang diinginkan, termasuk menjadi konselor dalam melaksanakan program pengobatan (Walsh M., et.al., 1999). Oleh karena itu, perawat sejak awal dapat berperan dalam meminimalisasi perubahan potensial pada sistem tubuh pasien.

Penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan perawatan mempunyai peran yang besar terhadap kemajuan kesehatan pasien. Komunikasi terapeutik meningkatkan hubungan interpersonal dengan klien sehingga akan tercipta suasana yang kondusif dimana klien dapat mengungkapkan perasaan dan harapan-harapannya (Sundberg, 1989). Kondisi saling percaya yang telah dibangun diantara perawat dan pasien tersebut akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan (Sundeen S.J., et.al.,1994).

Beberapa penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa perawat mempunyai peran yang cukup berpengaruh terhadap perilaku pasien (Tagliacozzo D.M., et.al., 1974). Sedangkan pemberian intervensi pendidikan kesehatan pada kelompok penderita diabetes melitus telah meningkatkan cakupan pelayanan vaksinasi influenza menjadi sebesar 59,4% (p<0,05)>.

Metodologi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian komunikasi terapeutik terhadap perilaku pasien diabetes melitus beserta sub-sub variabelnya yaitu : (1) kepatuhan dalam pengobatan; (2) pengetahuan tentang penyakit yang diderita; dan (3) sikap pasien terhadap penyakit yang diderita dan program pengobatan.

Penelitian merupakan penelitian eksperimen semu yang dilaksanakan secara longitudinal dan didesain dengan menggunakan sebelum dan sesudah intervensi pada satu kelompok (one group before and after intervention design). Populasi penelitian adalah semua pasien rawat jalan yang datang ke Poliklinik Penyakit Dalam RSU Dr. Sardjito Yogyakarta pada kurun waktu bulan Juli sampai dengan Desember 2002. Sedangkan keikutsertaan anggota populasi dalam penelitian ditentukan dengan kriteria inklusi sebagai berikut : berusia 25 sampai dengan 65 tahun dan pasien datang dengan diagnosis medis diabetes melitus.

Peneliti memperhitungkan besar sampel untuk uji hipotesis pada proporsi populasi pasien diabetes melitus dengan mengacu pada hasil penelitian Tagliacozzo DM, et.al. (1974) maka diketahui Po sebesar 0,54 dan perbedaan yang diharapkan sebesar 0,10 sehingga proporsi sekarang diharapkan menjadi sebesar 0,64, tingkat kemaknaan (a) dua arah sebesar 0,05, dan power sebesar 50%. Maka besar sampel yang dibutuhkan adalah 97 orang. Selanjutnya pengambilan sampel dilakukan secara non-probability sampling, yaitu dengan teknik consecutive sampling dimana setiap responden yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu hingga jumlah responden terpenuhi. Namun dari 97 responden yang dapat dijaring oleh perawat pada kontak pertama, hanya 68 responden (70,1%) yang berhasil mengikuti tahapan penelitian sampai pada kontak ketiga.

Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji coba kuesioner pada 30 orang responden dengan penyakit yang sama di Poliklinik Penyakit Dalam RSU Dr. Sardjito Yogyakarta. Peneliti dibantu oleh dua orang perawat yang ditunjuk sebagai petugas pengambil data dan petugas yang melaksanakan komunikasi terapeutik. Perawat diberikan penyegaran mengenai teknik komunikasi terapeutik.

Rencana awal dari penelitian ini, responden yang masuk dalam kerangka sampel adalah pasien baru. Namun ternyata kondisi di lapangan tidak mendukung rencana tersebut. Pasien baru diabetes mellitus yang masuk ke Poliklinik Penyakit Dalam RSU Dr. Sardjito Yogyakarta relatif kecil. Dari 68 responden yang lengkap, hanya terdapat pasien baru 5 orang (7,4%). Sehingga peneliti kesulitan untuk melakukan analisis khusus pada kelompok pasien baru. Walaupun sebenarnya, analisis hasil pada pasien baru akan lebih sangat berarti mengingat seseorang akan mengalami perubahan psikologis sehubungan dengan penyakit baru yang dideritanya (Smith R., 2002).

Variabel penelitian diukur pada saat sebelum dan sesudah intervensi. “pengukuran sebelum” dilakukan pada kontak pertama pasien dengan perawat dan “pengukuran sesudah” dilakukan pada kontak ketiga pasien dengan perawat. Intervensi pertama dilakukan pada kontak pertama pasien dengan perawat. Kontak ini ditekankan pada pemahaman pasien terhadap order dokter termasuk tujuan tes laboratorium. Perawat menjelaskan maksud dan tujuan pengobatan serta hal-hal yang perlu dilakukan oleh pasien di rumah, misalnya diit dan latihan fisik. Peneliti menyusun dan memberikan leaflet tentang diabetes melitus kepada responden sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan pasien mengenai penyakit diabetes melitus. Sedangkan pada kontak kedua dilakukan intervensi kedua. Kontak ini ditekankan pada pengungkapan dan pemecahan hambatan-hambatan yang ditemukan pasien dalam menjalankan perintah dokter.

Data dianalisis secara elektronik dengan program SPSS for windows v.10.05. Untuk menganalisis perubahan perilaku sebelum dan sesudah pemberian intervensi perawat maka data diuji dengan uji statistik nonparametrik Mc Nemar dengan a = 0,05. Sedangkan data yang tidak bisa dianalisis dengan uji Mc Nemar, dilanjutkan dengan uji Fisher Exact.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, waktu penelitian tidak sesuai dengan rencana jadwal penelitian, sehingga tidak cukup banyak waktu untuk menjaring responden yang mendapatkan intervensi lengkap (pertama maupun kedua). Keterbatasan kedua, sekuensi waktu antara pre dan post test yang relatif pendek sehingga tidak menutup kemungkinan adanya test effect bias pada semua variabel penelitian. Dan ketiga, komunikasi terapeutik merupakan salah satu intervensi keperawatan yang dapat dilakukan oleh setiap perawat, namun kegiatan tersebut jarang dilakukan perawat di lapangan. Oleh karena itu, penelitian tidak dapat didesain dengan menggunakan dua kelompok yang berbeda, yaitu kelompok perlakuan dan kelompok yang tidak diberikan perlakuan (kelompok kontrol). Perbedaan perlakuan pada dua kelompok tersebut akan bertentangan dengan ethical adjusment, namun konsekuensi dari hal tersebut akan mengancam validitas interna.



Hasil dan Pembahasan

1. Karakteristik Responden

Responden yang termuda adalah berusia 37 tahun dan yang tertua berusia 80 tahun dengan nilai rerata sebesar 57,9 tahun (SD = 8,95). Bila dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka responden pria yang termuda berusia 38 tahun dan usia tertua 80 tahun dengan nilai rerata 58,10 tahun (SD = 9,11). Usia responden wanita yang termuda adalah 37 tahun dan yang tertua 75 tahun dengan nilai rerata (SD=8,76). Sebagian besar (70,6%) jenis kelamin responden adalah pria, sedangkan responden wanita hanya sebesar 29,4% dari 68 responden yang dapat dianalisis. Hanya 56 responden (82,4%) yang sering melakukan latihan olahraga. Dari jumlah tersebut sebagian besar lebih memilih jenis olahraga jalan santai (46,4%) dan hanya sebagian kecil yang memilih jogging (3,6%). Responden yang memilih jenis lainnya (10,7%) antara lain adalah tenis atau bekerja di sawah / ladang.

Pengetahuan Pasien tentang Penyakit yang Diderita

Pada Tabel 4.2 terlihat bahwa pengetahuan responden mengenai penyakit yang dideritanya (diabetes melitus) meningkat cukup berarti setelah pemberian intervensi komunikasi terapeutik. Secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terapeutik terhadap pengetahuan tentang penyakit yang diderita pada pasien diabetes melitus.

Responden diberikan leaflet tentang diabetes melitus sebagai upaya pendidikan kesehatan pada pasien dan pada bagian lain bila pasien bertanya mengenai penyakitnya, maka perawat berusaha menjelaskannya. Upaya tersebut telah menurunkan persentase “pengetahuan kurang” dari 50,0% menjadi 20,6%, dan pemberian komunikasi terapeutik pada pasien diabetes melitus ternyata berpengaruh secara signifikan terhadap meningkatnya pengetahuan tentang penyakit yang diderita (p = 0,006). Redhead et al. (1993) mengatakan bahwa pendidikan kesehatan yang efektif pada pasien diabetes melitus merupakan dasar dari kontrol metabolisme yang baik dimana dapat meningkatkan hasil klinis dengan jalan meningkatkan pengertian dan kemampuan pengelolaan penyakit secara mandiri.

Peneliti juga memperhatikan kemungkinan adanya efek bias dari jarak dua pengukuran yang relatif pendek (test effect), sebab dimungkinkan pasien masih ingat pada pertanyaan yang diajukan sebelumnya. Menurut Smith (2002) perubahan pola penyakit dari akut ke kronis atau seseorang yang memiliki penyakit kronis, cenderung akan memiliki pengetahuan yang meningkatkan. Pasien berusaha untuk mencari informasi sejelas-jelasnya mengenai penyakitnya, baik dari petugas kesehatan maupun dari media informasi lainnya.

Pengetahuan seseorang erat kaitannya dengan perilaku yang akan diambilnya, karena dengan pengetahuan tersebut ia memiliki alasan dan landasan untuk menentukan suatu pilihan. Kekurangpengetahuan tentang penyakit yang diderita akan mengakibatkan tidak terkendalinya proses perkembangan penyakit, termasuk deteksi dini adanya komplikasi penyakit.
Kosa dan Robertson menyatakan bahwa perilaku kesehatan dimotivasi oleh kebutuhan psikologi individu untuk mengurangi kekhawatiran yang disebabkan oleh adanya ancaman dari suatu penyakit, salah satu kebutuhan psikologis tersebut yaitu penerapan pengetahuan sendiri terhadap kesehatan. Mechanic mencatat salah satu dari sepuluh tipe variabel yang menentukan perilaku kesehatan adalah informasi yang tersedia, pengetahuan, kebudayaan serta pandangan orang yang menilai. Pada bagian lain, Cumming menyebutkan salah satu dari berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku yang berkaitan dengan kesehatan adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan penyakit (Muzahan, 1995).

Penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan perawatan mempunyai peran yang besar terhadap peningkatan pengetahuan pasien terhadap penyakit. Interaksi perawat dengan pasien memfasilitasi proses transfer pengetahuan maupun informasi tambahan yang belum dimengerti oleh pasien. Diskusi yang dilakukan berorientasi pada pemahaman pasien terhadap proses penyakitnya, dengan adanya pemahaman pasien diharapkan pasien akan kolaboratif dan patuh dalam menjalankan program pengobatan.

Menurut Asosiasi Diabetes Amerika (American Diabetes Association / ADA), pendidikan kesehatan kepada pasien diabetes melitus merupakan komponen yang penting, pasien memiliki peran yang penting dalam manajemen diri selain didukung oleh tim kesehatan, keluarga, maupun orang-orang di sekitarnya. ADA telah mencatat perubahan perilaku yang diharapkan dari adanya pendidikan kesehatan (Self-Management Education Programs), yaitu : tingkat pengetahuan, sikap dan keyakinan, status psikologis, kondisi fisik, serta pola hidup yang sehat.

Sikap Pasien terhadap Penyakit yang Diderita dan Program Pengobatan

Pada Tabel 4.4 terlihat bahwa sikap responden terhadap penyakit yang dideritanya (diabetes melitus) meningkat cukup berarti setelah pemberian intervensi komunikasi terapeutik. Secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terapeutik terhadap sikap pasien terhadap penyakit yang diderita dan program pengobatan.

Ketika seseorang berinteraksi dengan dunia luar, selalu ada mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan, dan akan ikut menentukan kecenderungan perilakunya, bahkan terhadap dirinya sekali pun. Pandangan dan perasaan seseorang terpengaruh oleh ingatannya pada masa lalu, oleh apa yang ia ketahui dan kesannya kita terhadap apa yang sedang ia hadapi saat ini (Azwar, 2002). Pengalaman-pengalaman seseorang pada masa lalu akan membawa pada sikap yang terbuka atau tertutup terhadap dorongan dari orang luar. Keberhasilan komunikasi terapeutik dapat dipengaruhi oleh sikap pasien terhadap dirinya sendiri maupun pada petugas kesehatan. Pada bagian lain, proses penerimaan masing-masing individu dalam membangun kepercayaan dengan perawat akan sangat bervariasi. Oleh karenanya komunikasi terapeutik merupakan pengalaman belajar dan juga pengalaman koreksi terhadap emosi pasien (Nurjannah, 2001).

Kepatuhan Pasien dalam Pengobatan

Pada Tabel 4.5 terlihat bahwa kepatuhan responden dalam pengobatan meningkat cukup berarti setelah pemberian intervensi komunikasi terapeutik. Secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terapeutik terhadap kepatuhan dalam pengobatan pada pasien diabetes melitus.

Kepatuhan pasien berkenaan dengan kemauan dan kemampuan dari individu untuk mengikuti cara sehat yang berkaitan dengan nasehat, aturan pengobatan yang ditetapkan, mengikuti jadwal pemeriksaan dan rekomendasi hasil penyelidikan (Murphy, 1997). Sacket (1978) menyatakan kepatuhan adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan untuk pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup sehat, dan ketepatan berobat. Menurut Kelman (cit. Sarwono, 1993) sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi kemudian menjadi internalisasi. Mula-mula individu mematuhi anjuran/interaksi petugas tanpa kerelaan untuk memberikan tindakan tersebut dan sering menghindar, hukuman/sangsi jika dia tidak patuh untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut, tahap ini disebut tahap kepatuhan (compliance).

Pritchard (1986) menyatakan hubungan komunikasi dengan kepatuhan merupakan variabel intermediet dari mengerti, kepuasan, dan memori. Membangun suatu kepatuhan tergantung pada dua faktor disengaja atau tidak dan biasanya didasari informasi yang benar harus selalu diberikan pada pasien yang tidak patuh pada pelayanan medis yang mungkin secara langsung membantu mengingatkan kembali. Sejak dia dipercaya dan patuh dengan nasehat, dia akan mengikuti pengalaman kesehatan masa lampau oleh karena perubahan perilaku memerlukan banyak teknik persuasive.

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan tenaga kesehatan mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter dan ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan (Dunbar & Waszak, 1990). Salah satu strategi untuk meningkatkan ketaatan adalah memperbaiki komunikasi antara dokter maupun perawat dengan pasien.

Salah satu peran kolaboratif dari perawat adalah membantu menyiapkan pasien untuk taat pada program pengobatan yang telah diorderkan oleh dokter. Dalam hal tersebut peran komunikasi terapeutik sangat penting dalam menjalin saling percaya di antara perawat dan pasien. Salah satu hal yang terpenting dengan tidak berhasilnya komunikasi perawat dan pasien adalah berkaitan dengan penerimaan informasi yang kurang adequat. Pada banyak kasus diharapkan penerimaan komunikasi akan berdampak pada bentuk kepatuhan. Stanson (cit. Pritchard, 1986) melakukan studi dengan menunjukkan antara 19 – 72% pasien tidak membeli obat yang diresepkan dan sebagian besar proporsi sekitar 32% observasi yang sama dalam hal diet, perawatan anak dan nasehat antenatal.

Perilaku Pasien

Pada Tabel 4.6 terlihat bahwa perilaku responden meningkat cukup berarti setelah pemberian intervensi komunikasi terapeutik. Secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terapeutik terhadap perilaku pasien diabetes melitus.
Menurut Prochasca, et al. (1992), perubahan di dalam perilaku akan terganggu apabila terjadi peningkatan perubahan psikologis. Sentuhan lebih dalam dan kecermatan dari sebelum perbaikan, akan menimbulkan aksi perangkat perilaku baru. Menurut Purwanto (1998) perilaku pasien adalah dorongan yang ada dalam diri pasien untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam dirinya. Sementara itu, Sarwono (1993) menyebutkan bahwa perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan praktek. Sehingga dalam penelitian ini perilaku pasien disusun oleh tiga variabel konstruk, yaitu: (1) pengetahuan pasien tentang penyakit yang diderita; (2) Sikap pasien terhadap penyakit yang diderita dan program pengobatan; serta (3) kepatuhan pasien dalam pengobatan.

Rosenstock (cit. Sarwono, 1993) menyatakan bahwa perilaku individu ditentukan oleh motif dan kepercayaan, tanpa memperdulikan motif dan kepercayaan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan realitas atau dengan pandangan orang lain tentang yang baik bagi individu tersebut. Teori tersebut mencakup lima unsur kepercayaan kesehatan: (1) perceived susceptibility, persepsi individu tentang kemungkinan terkena suatu penyakit, (2) perceived seriousness, pandangan individu tentang beratnya penyakit, (3) perceived threats, adanya ancaman yang mendorong untuk mencari tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit, (4) perceived benefits and barriers, menerima atau menolak (biaya mahal, rasa takut), dan (5) cues to action, memutuskan untuk menerima atau menolak alternatif tindakan.

Kosa dan Robertson (cit. Muzahan, 1995) menyatakan bahwa perilaku kesehatan dimotivasi oleh kebutuhan psikologi individu untuk mengurangi kekhawatiran yang disebabkan oleh adanya ancaman dari suatu penyakit yaitu: (1) penilaian tentang suatu gangguan kesehatan, (2) peningkatan rasa khawatir karena persepsi tentang gejala penyakit, (3) penerapan pengetahuan sendiri terhadap kesehatan dan (4) bentuk tindakan untuk menghilangkan kekhawatiran dan gangguan kesehatan tersebut.

Beberapa penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa perawat mempunyai peran yang cukup berpengaruh terhadap perilaku pasien (Tagliacozzo D.M., et.al., 1974). Kontak pasien dengan petugas kesehatan di rumah sakit sebagian besar dengan perawat. Perawat seringkali dapat berperan sebagai konselor dalam pendidikan kesehatan bagi pasien maupun keluarganya. Oleh karena itu, pendidikan kesehatan yang diberikan oleh perawat kepada pasien memiliki peran yang sangat penting. Berdasarkan suatu penelitian di AS memperlihatkan bahwa pemberian intervensi pendidikan kesehatan pada kelompok penderita diabetes melitus telah meningkatkan cakupan pelayanan vaksinasi influenza menjadi sebesar 59,4% (p<0,05)>Kesimpulan
  1. Hanya terdapat 68 responden (70,1%) yang lengkap dan layak untuk dilakukan analisis dari 97 respsonden.
  2. Responden yang termuda berusia 37 tahun dan yang tertua berusia 80 tahun dengan nilai rerata sebesar 57,9 tahun (SD = 8,95).
  3. Sebagian besar (70,6%) jenis kelamin responden adalah pria.
  4. Hanya 56 responden (82,4%) yang sering melakukan latihan olahraga.
  5. Ada pengaruh pemberian komunikasi terapeutik terhadap pengetahuan tentang penyakit yang diderita pada pasien diabetes melitus.
  6. Ada pengaruh pemberian komunikasi terapeutik terhadap sikap pasien diabetes melitus terhadap penyakit yang diderita dan program pengobatan.
  7. Ada pengaruh pemberian komunikasi terapeutik terhadap kepatuhan dalam pengobatan pada pasien diabetes melitus.
  8. Ada pengaruh pemberian komunikasi terapeutik terhadap perilaku pasien diabetes melitus.

Saran

  1. Berdasarkan temuan empirik di atas, hendaknya komunikasi terapeutik benar-benar diterapkan di poliklinik rawat jalan untuk mengurangi ketidakpatuhan pasien dalam program pengobatan, khususnya pada pasien dengan penyakit menahun.
  2. Hendaknya perawat dapat bersikap terapeutik agar tercipta kondisi saling percaya antara perawat dan pasien sehingga akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan.
  3. Hendaknya perawat selalu mengasah ketrampilannya dalam komunikasi terapeutik termasuk kemampuan dalam expressive touch yaitu perilaku perawat yang membuat nyaman dalam berkomunikasi dengan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

  1. American Association of Diabetes Educators, AADE Position Statement: Individualization of Diabetes Education and Management, 1994, http://www.aadenet.org/Position%20Statements/indiv_of_DM.htm, [downloaded October, 31st , 2002].
  2. Azwar S., Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.
  3. Badruddin N., Basit A., Hydrie M.Z.I., & Hakeem R., Knowledge, Attitude and Practices of Patients Visiting a Diabetes Care Unit, Pakistan Jou of Nut 1(2): 99-102, 2002
  4. Chapman T., Therapeutic Communication Techniques, http://www. tusc.kent.edu/nursing/thercomm.htm , [downloaded November, 21st , 2001].
  5. Galbis-Reig D., Oley M.A., Forburger A.F., & Teekah T.R., Implementation of an Educational Intervention Program to Increase Influenza Vaccination Among Persons with Diabetes Melitus, the Internet Jou of Internal Med. 2001 Vol. 2 No. 2, http://www.icaap.org/iuicode?134.2.2.5, [downloaded October, 31st , 2002].
  6. Harsono, Komunikasi Terapeutik, Bina Sehat Edisi Mei-Juli, No.: 003/BS/PPNI/ 2000.
  7. Mudjaddid, E., Pemilihan Obat Antidepresan pada Beberapa Penyakit Organik, makalah Simposium Current Diagnosis and Treatment 2001 di Hotel Borobudur, Jakarta, 27-28 Desember 2001.
  8. Muzahan F., Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan, Jakarta : UI Press, 1995.
  9. Nurjannah I., Hubungan Terapeutik Perawat dan Klien: Kualitas Pribadi sebagai Sarana, Yogyakarta: PSIK-FK UGM, 2001.
  10. Prochaska J.O, Clements D., & Cross J.J.N., The Transtheorical Approach: Crossing the Traditional Bounderies of Therapy Homewood, Illionnis: Dan-Yones/Irwin, 1992.
  11. Purwanto H., Pengantar Perilaku Manusia untuk Keperawatan, Jakarta: EGC, 1998.
  12. Rakhmat J., Psikologi Komunikasi, Bandung: Remadja Karya, 1986.
  13. Redhead J, Hussain A, Gedling P, McCulloch AJ., The effect of primary-care based education service. Diabetic Medicine 1993, Vol. 10: p. 672-675.
  14. Sarwono. S, Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993.
  15. Smith R., Chronic Disease, Patient Knowledge, and the Effect on the Demand for Physician Services, http://www.academyhealth.org/2002/abstract/quality/smith.htm, [downloaded November, 29th, 2002].
  16. Stuart G.W. & Sundeen S.J., Principles and Practice of Psychiatric Nursing, St. Louis: Mosby-Year Book, Inc., 1995.
  17. Sunberg C.M., Fundamentals of Nursing with Clinical Procedures, Boston: Jones and Bartlett Publishers, 1989.
  18. Sundeen S.J., Stuart G.W., Rankin E.A.D. & Cohen S.A., Nurse-Client Interaction: Implementing the Nursing Process, 5th Ed., Missouri: Mosby-Year Book, Inc., 1994.
  19. Tagliacozzo D.M., Luskin D.B., Lashof J.C. & Ima K., Nurse Intervention and Patient Behavior, Am. Jou. Public Health 1974, Vol. 64 No. 6.
  20. Walsh M., Crumbie A., & Reveley S., Nurse Practitioners: Clinical Skills and Professional Issues, Oxford: Butterworth-Heinemann, 1999.Wilson H.S. & Kneils C.R., Psychiatric Nursing, 2nd Ed., California: Addison-Wesley Publishing Company Inc., 1983.

Tim Penelitian ini antara lain : Bondan Palestin, Budhy Ermawan, Jenita Doli Tine Donsu, Sri Hendarsih, Maria H Bakri






Baca selengkapnya...