Friday, October 20, 2006

Penerapan Komunikasi Terapeutik untuk Mengoreksi Perilaku Klien Rawat Jalan dengan Diabetes Mellitus

ABSTRACT

Therapeutic communications improve interpersonal relationship with client so that will be created a conducive atmosphere where client can express his feelings and his expectations easily. The condition will water down execution and efficacy of medication programs. This research aim to know the influence of giving therapeutic communications to behaviors of patient with diabetes mellitus along with his aspects.

Research type was a quation experiment which executed by longitudinal. Research used one group before and after intervention design. Research sample was 68 outpatients with diabetes mellitus at RSU Dr. Sardjito Yogyakarta. Data change of patient behaviors before and after giving a nurse intervention analyzed with Mc-Nemar test and Fisher Exact test (p= 0,05).

The giving therapeutic communications influenced to all of variables. There were patient knowledge ( X2 = 7,521 ; p = 0,006), patient feelings to his suffered and medication program ( X2 = 10,028 ; p = 0,002); compliance of patient in medication ( p = 0,004); and also behavior of patient ( X2 = 26,036 ; p = 0,000). Thereby researcher suggest that (1) therapeutic communications should be applied in outpatient unit to reduce patient incompliance in medication program, especially for patient with chronicle disease; (2) nurse should behave therapeutic manner so it can create a trusting to each other condition between patient and nurse. Finally it makes easy for execution and efficacy of medication program; (3) nurse always sharpen her therapeutic communication skills, including an ability in expressive touch.
Keywords: therapeutic communications, patient behavior, compliance



Latar Belakang Masalah

Diabetes melitus merupakan salah satu jenis penyakit kronis sebab penyakit tersebut akan menimbulkan perubahan yang permanen pada kehidupan setiap individu (Stuart G.W. & Sundeen S.J., 1995). Perawatan pada seseorang yang memiliki penyakit kronis merupakan tantangan bagi tenaga perawat, sebab mereka tidak hanya menghendaki intervensi medis untuk memulihkan fungsi fisiknya akan tetapi mereka juga menghendaki perawat yang sensitif terhadap kebutuhan yang diinginkan, termasuk menjadi konselor dalam melaksanakan program pengobatan (Walsh M., et.al., 1999). Oleh karena itu, perawat sejak awal dapat berperan dalam meminimalisasi perubahan potensial pada sistem tubuh pasien.

Penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan perawatan mempunyai peran yang besar terhadap kemajuan kesehatan pasien. Komunikasi terapeutik meningkatkan hubungan interpersonal dengan klien sehingga akan tercipta suasana yang kondusif dimana klien dapat mengungkapkan perasaan dan harapan-harapannya (Sundberg, 1989). Kondisi saling percaya yang telah dibangun diantara perawat dan pasien tersebut akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan (Sundeen S.J., et.al.,1994).

Beberapa penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa perawat mempunyai peran yang cukup berpengaruh terhadap perilaku pasien (Tagliacozzo D.M., et.al., 1974). Sedangkan pemberian intervensi pendidikan kesehatan pada kelompok penderita diabetes melitus telah meningkatkan cakupan pelayanan vaksinasi influenza menjadi sebesar 59,4% (p<0,05)>.

Metodologi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian komunikasi terapeutik terhadap perilaku pasien diabetes melitus beserta sub-sub variabelnya yaitu : (1) kepatuhan dalam pengobatan; (2) pengetahuan tentang penyakit yang diderita; dan (3) sikap pasien terhadap penyakit yang diderita dan program pengobatan.

Penelitian merupakan penelitian eksperimen semu yang dilaksanakan secara longitudinal dan didesain dengan menggunakan sebelum dan sesudah intervensi pada satu kelompok (one group before and after intervention design). Populasi penelitian adalah semua pasien rawat jalan yang datang ke Poliklinik Penyakit Dalam RSU Dr. Sardjito Yogyakarta pada kurun waktu bulan Juli sampai dengan Desember 2002. Sedangkan keikutsertaan anggota populasi dalam penelitian ditentukan dengan kriteria inklusi sebagai berikut : berusia 25 sampai dengan 65 tahun dan pasien datang dengan diagnosis medis diabetes melitus.

Peneliti memperhitungkan besar sampel untuk uji hipotesis pada proporsi populasi pasien diabetes melitus dengan mengacu pada hasil penelitian Tagliacozzo DM, et.al. (1974) maka diketahui Po sebesar 0,54 dan perbedaan yang diharapkan sebesar 0,10 sehingga proporsi sekarang diharapkan menjadi sebesar 0,64, tingkat kemaknaan (a) dua arah sebesar 0,05, dan power sebesar 50%. Maka besar sampel yang dibutuhkan adalah 97 orang. Selanjutnya pengambilan sampel dilakukan secara non-probability sampling, yaitu dengan teknik consecutive sampling dimana setiap responden yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu hingga jumlah responden terpenuhi. Namun dari 97 responden yang dapat dijaring oleh perawat pada kontak pertama, hanya 68 responden (70,1%) yang berhasil mengikuti tahapan penelitian sampai pada kontak ketiga.

Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji coba kuesioner pada 30 orang responden dengan penyakit yang sama di Poliklinik Penyakit Dalam RSU Dr. Sardjito Yogyakarta. Peneliti dibantu oleh dua orang perawat yang ditunjuk sebagai petugas pengambil data dan petugas yang melaksanakan komunikasi terapeutik. Perawat diberikan penyegaran mengenai teknik komunikasi terapeutik.

Rencana awal dari penelitian ini, responden yang masuk dalam kerangka sampel adalah pasien baru. Namun ternyata kondisi di lapangan tidak mendukung rencana tersebut. Pasien baru diabetes mellitus yang masuk ke Poliklinik Penyakit Dalam RSU Dr. Sardjito Yogyakarta relatif kecil. Dari 68 responden yang lengkap, hanya terdapat pasien baru 5 orang (7,4%). Sehingga peneliti kesulitan untuk melakukan analisis khusus pada kelompok pasien baru. Walaupun sebenarnya, analisis hasil pada pasien baru akan lebih sangat berarti mengingat seseorang akan mengalami perubahan psikologis sehubungan dengan penyakit baru yang dideritanya (Smith R., 2002).

Variabel penelitian diukur pada saat sebelum dan sesudah intervensi. “pengukuran sebelum” dilakukan pada kontak pertama pasien dengan perawat dan “pengukuran sesudah” dilakukan pada kontak ketiga pasien dengan perawat. Intervensi pertama dilakukan pada kontak pertama pasien dengan perawat. Kontak ini ditekankan pada pemahaman pasien terhadap order dokter termasuk tujuan tes laboratorium. Perawat menjelaskan maksud dan tujuan pengobatan serta hal-hal yang perlu dilakukan oleh pasien di rumah, misalnya diit dan latihan fisik. Peneliti menyusun dan memberikan leaflet tentang diabetes melitus kepada responden sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan pasien mengenai penyakit diabetes melitus. Sedangkan pada kontak kedua dilakukan intervensi kedua. Kontak ini ditekankan pada pengungkapan dan pemecahan hambatan-hambatan yang ditemukan pasien dalam menjalankan perintah dokter.

Data dianalisis secara elektronik dengan program SPSS for windows v.10.05. Untuk menganalisis perubahan perilaku sebelum dan sesudah pemberian intervensi perawat maka data diuji dengan uji statistik nonparametrik Mc Nemar dengan a = 0,05. Sedangkan data yang tidak bisa dianalisis dengan uji Mc Nemar, dilanjutkan dengan uji Fisher Exact.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, waktu penelitian tidak sesuai dengan rencana jadwal penelitian, sehingga tidak cukup banyak waktu untuk menjaring responden yang mendapatkan intervensi lengkap (pertama maupun kedua). Keterbatasan kedua, sekuensi waktu antara pre dan post test yang relatif pendek sehingga tidak menutup kemungkinan adanya test effect bias pada semua variabel penelitian. Dan ketiga, komunikasi terapeutik merupakan salah satu intervensi keperawatan yang dapat dilakukan oleh setiap perawat, namun kegiatan tersebut jarang dilakukan perawat di lapangan. Oleh karena itu, penelitian tidak dapat didesain dengan menggunakan dua kelompok yang berbeda, yaitu kelompok perlakuan dan kelompok yang tidak diberikan perlakuan (kelompok kontrol). Perbedaan perlakuan pada dua kelompok tersebut akan bertentangan dengan ethical adjusment, namun konsekuensi dari hal tersebut akan mengancam validitas interna.



Hasil dan Pembahasan

1. Karakteristik Responden

Responden yang termuda adalah berusia 37 tahun dan yang tertua berusia 80 tahun dengan nilai rerata sebesar 57,9 tahun (SD = 8,95). Bila dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka responden pria yang termuda berusia 38 tahun dan usia tertua 80 tahun dengan nilai rerata 58,10 tahun (SD = 9,11). Usia responden wanita yang termuda adalah 37 tahun dan yang tertua 75 tahun dengan nilai rerata (SD=8,76). Sebagian besar (70,6%) jenis kelamin responden adalah pria, sedangkan responden wanita hanya sebesar 29,4% dari 68 responden yang dapat dianalisis. Hanya 56 responden (82,4%) yang sering melakukan latihan olahraga. Dari jumlah tersebut sebagian besar lebih memilih jenis olahraga jalan santai (46,4%) dan hanya sebagian kecil yang memilih jogging (3,6%). Responden yang memilih jenis lainnya (10,7%) antara lain adalah tenis atau bekerja di sawah / ladang.

Pengetahuan Pasien tentang Penyakit yang Diderita

Pada Tabel 4.2 terlihat bahwa pengetahuan responden mengenai penyakit yang dideritanya (diabetes melitus) meningkat cukup berarti setelah pemberian intervensi komunikasi terapeutik. Secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terapeutik terhadap pengetahuan tentang penyakit yang diderita pada pasien diabetes melitus.

Responden diberikan leaflet tentang diabetes melitus sebagai upaya pendidikan kesehatan pada pasien dan pada bagian lain bila pasien bertanya mengenai penyakitnya, maka perawat berusaha menjelaskannya. Upaya tersebut telah menurunkan persentase “pengetahuan kurang” dari 50,0% menjadi 20,6%, dan pemberian komunikasi terapeutik pada pasien diabetes melitus ternyata berpengaruh secara signifikan terhadap meningkatnya pengetahuan tentang penyakit yang diderita (p = 0,006). Redhead et al. (1993) mengatakan bahwa pendidikan kesehatan yang efektif pada pasien diabetes melitus merupakan dasar dari kontrol metabolisme yang baik dimana dapat meningkatkan hasil klinis dengan jalan meningkatkan pengertian dan kemampuan pengelolaan penyakit secara mandiri.

Peneliti juga memperhatikan kemungkinan adanya efek bias dari jarak dua pengukuran yang relatif pendek (test effect), sebab dimungkinkan pasien masih ingat pada pertanyaan yang diajukan sebelumnya. Menurut Smith (2002) perubahan pola penyakit dari akut ke kronis atau seseorang yang memiliki penyakit kronis, cenderung akan memiliki pengetahuan yang meningkatkan. Pasien berusaha untuk mencari informasi sejelas-jelasnya mengenai penyakitnya, baik dari petugas kesehatan maupun dari media informasi lainnya.

Pengetahuan seseorang erat kaitannya dengan perilaku yang akan diambilnya, karena dengan pengetahuan tersebut ia memiliki alasan dan landasan untuk menentukan suatu pilihan. Kekurangpengetahuan tentang penyakit yang diderita akan mengakibatkan tidak terkendalinya proses perkembangan penyakit, termasuk deteksi dini adanya komplikasi penyakit.
Kosa dan Robertson menyatakan bahwa perilaku kesehatan dimotivasi oleh kebutuhan psikologi individu untuk mengurangi kekhawatiran yang disebabkan oleh adanya ancaman dari suatu penyakit, salah satu kebutuhan psikologis tersebut yaitu penerapan pengetahuan sendiri terhadap kesehatan. Mechanic mencatat salah satu dari sepuluh tipe variabel yang menentukan perilaku kesehatan adalah informasi yang tersedia, pengetahuan, kebudayaan serta pandangan orang yang menilai. Pada bagian lain, Cumming menyebutkan salah satu dari berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku yang berkaitan dengan kesehatan adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan penyakit (Muzahan, 1995).

Penerapan komunikasi terapeutik dalam pelayanan perawatan mempunyai peran yang besar terhadap peningkatan pengetahuan pasien terhadap penyakit. Interaksi perawat dengan pasien memfasilitasi proses transfer pengetahuan maupun informasi tambahan yang belum dimengerti oleh pasien. Diskusi yang dilakukan berorientasi pada pemahaman pasien terhadap proses penyakitnya, dengan adanya pemahaman pasien diharapkan pasien akan kolaboratif dan patuh dalam menjalankan program pengobatan.

Menurut Asosiasi Diabetes Amerika (American Diabetes Association / ADA), pendidikan kesehatan kepada pasien diabetes melitus merupakan komponen yang penting, pasien memiliki peran yang penting dalam manajemen diri selain didukung oleh tim kesehatan, keluarga, maupun orang-orang di sekitarnya. ADA telah mencatat perubahan perilaku yang diharapkan dari adanya pendidikan kesehatan (Self-Management Education Programs), yaitu : tingkat pengetahuan, sikap dan keyakinan, status psikologis, kondisi fisik, serta pola hidup yang sehat.

Sikap Pasien terhadap Penyakit yang Diderita dan Program Pengobatan

Pada Tabel 4.4 terlihat bahwa sikap responden terhadap penyakit yang dideritanya (diabetes melitus) meningkat cukup berarti setelah pemberian intervensi komunikasi terapeutik. Secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terapeutik terhadap sikap pasien terhadap penyakit yang diderita dan program pengobatan.

Ketika seseorang berinteraksi dengan dunia luar, selalu ada mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan, dan akan ikut menentukan kecenderungan perilakunya, bahkan terhadap dirinya sekali pun. Pandangan dan perasaan seseorang terpengaruh oleh ingatannya pada masa lalu, oleh apa yang ia ketahui dan kesannya kita terhadap apa yang sedang ia hadapi saat ini (Azwar, 2002). Pengalaman-pengalaman seseorang pada masa lalu akan membawa pada sikap yang terbuka atau tertutup terhadap dorongan dari orang luar. Keberhasilan komunikasi terapeutik dapat dipengaruhi oleh sikap pasien terhadap dirinya sendiri maupun pada petugas kesehatan. Pada bagian lain, proses penerimaan masing-masing individu dalam membangun kepercayaan dengan perawat akan sangat bervariasi. Oleh karenanya komunikasi terapeutik merupakan pengalaman belajar dan juga pengalaman koreksi terhadap emosi pasien (Nurjannah, 2001).

Kepatuhan Pasien dalam Pengobatan

Pada Tabel 4.5 terlihat bahwa kepatuhan responden dalam pengobatan meningkat cukup berarti setelah pemberian intervensi komunikasi terapeutik. Secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terapeutik terhadap kepatuhan dalam pengobatan pada pasien diabetes melitus.

Kepatuhan pasien berkenaan dengan kemauan dan kemampuan dari individu untuk mengikuti cara sehat yang berkaitan dengan nasehat, aturan pengobatan yang ditetapkan, mengikuti jadwal pemeriksaan dan rekomendasi hasil penyelidikan (Murphy, 1997). Sacket (1978) menyatakan kepatuhan adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan untuk pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup sehat, dan ketepatan berobat. Menurut Kelman (cit. Sarwono, 1993) sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi kemudian menjadi internalisasi. Mula-mula individu mematuhi anjuran/interaksi petugas tanpa kerelaan untuk memberikan tindakan tersebut dan sering menghindar, hukuman/sangsi jika dia tidak patuh untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut, tahap ini disebut tahap kepatuhan (compliance).

Pritchard (1986) menyatakan hubungan komunikasi dengan kepatuhan merupakan variabel intermediet dari mengerti, kepuasan, dan memori. Membangun suatu kepatuhan tergantung pada dua faktor disengaja atau tidak dan biasanya didasari informasi yang benar harus selalu diberikan pada pasien yang tidak patuh pada pelayanan medis yang mungkin secara langsung membantu mengingatkan kembali. Sejak dia dipercaya dan patuh dengan nasehat, dia akan mengikuti pengalaman kesehatan masa lampau oleh karena perubahan perilaku memerlukan banyak teknik persuasive.

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan tenaga kesehatan mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter dan ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan (Dunbar & Waszak, 1990). Salah satu strategi untuk meningkatkan ketaatan adalah memperbaiki komunikasi antara dokter maupun perawat dengan pasien.

Salah satu peran kolaboratif dari perawat adalah membantu menyiapkan pasien untuk taat pada program pengobatan yang telah diorderkan oleh dokter. Dalam hal tersebut peran komunikasi terapeutik sangat penting dalam menjalin saling percaya di antara perawat dan pasien. Salah satu hal yang terpenting dengan tidak berhasilnya komunikasi perawat dan pasien adalah berkaitan dengan penerimaan informasi yang kurang adequat. Pada banyak kasus diharapkan penerimaan komunikasi akan berdampak pada bentuk kepatuhan. Stanson (cit. Pritchard, 1986) melakukan studi dengan menunjukkan antara 19 – 72% pasien tidak membeli obat yang diresepkan dan sebagian besar proporsi sekitar 32% observasi yang sama dalam hal diet, perawatan anak dan nasehat antenatal.

Perilaku Pasien

Pada Tabel 4.6 terlihat bahwa perilaku responden meningkat cukup berarti setelah pemberian intervensi komunikasi terapeutik. Secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terapeutik terhadap perilaku pasien diabetes melitus.
Menurut Prochasca, et al. (1992), perubahan di dalam perilaku akan terganggu apabila terjadi peningkatan perubahan psikologis. Sentuhan lebih dalam dan kecermatan dari sebelum perbaikan, akan menimbulkan aksi perangkat perilaku baru. Menurut Purwanto (1998) perilaku pasien adalah dorongan yang ada dalam diri pasien untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam dirinya. Sementara itu, Sarwono (1993) menyebutkan bahwa perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan praktek. Sehingga dalam penelitian ini perilaku pasien disusun oleh tiga variabel konstruk, yaitu: (1) pengetahuan pasien tentang penyakit yang diderita; (2) Sikap pasien terhadap penyakit yang diderita dan program pengobatan; serta (3) kepatuhan pasien dalam pengobatan.

Rosenstock (cit. Sarwono, 1993) menyatakan bahwa perilaku individu ditentukan oleh motif dan kepercayaan, tanpa memperdulikan motif dan kepercayaan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan realitas atau dengan pandangan orang lain tentang yang baik bagi individu tersebut. Teori tersebut mencakup lima unsur kepercayaan kesehatan: (1) perceived susceptibility, persepsi individu tentang kemungkinan terkena suatu penyakit, (2) perceived seriousness, pandangan individu tentang beratnya penyakit, (3) perceived threats, adanya ancaman yang mendorong untuk mencari tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit, (4) perceived benefits and barriers, menerima atau menolak (biaya mahal, rasa takut), dan (5) cues to action, memutuskan untuk menerima atau menolak alternatif tindakan.

Kosa dan Robertson (cit. Muzahan, 1995) menyatakan bahwa perilaku kesehatan dimotivasi oleh kebutuhan psikologi individu untuk mengurangi kekhawatiran yang disebabkan oleh adanya ancaman dari suatu penyakit yaitu: (1) penilaian tentang suatu gangguan kesehatan, (2) peningkatan rasa khawatir karena persepsi tentang gejala penyakit, (3) penerapan pengetahuan sendiri terhadap kesehatan dan (4) bentuk tindakan untuk menghilangkan kekhawatiran dan gangguan kesehatan tersebut.

Beberapa penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa perawat mempunyai peran yang cukup berpengaruh terhadap perilaku pasien (Tagliacozzo D.M., et.al., 1974). Kontak pasien dengan petugas kesehatan di rumah sakit sebagian besar dengan perawat. Perawat seringkali dapat berperan sebagai konselor dalam pendidikan kesehatan bagi pasien maupun keluarganya. Oleh karena itu, pendidikan kesehatan yang diberikan oleh perawat kepada pasien memiliki peran yang sangat penting. Berdasarkan suatu penelitian di AS memperlihatkan bahwa pemberian intervensi pendidikan kesehatan pada kelompok penderita diabetes melitus telah meningkatkan cakupan pelayanan vaksinasi influenza menjadi sebesar 59,4% (p<0,05)>Kesimpulan
  1. Hanya terdapat 68 responden (70,1%) yang lengkap dan layak untuk dilakukan analisis dari 97 respsonden.
  2. Responden yang termuda berusia 37 tahun dan yang tertua berusia 80 tahun dengan nilai rerata sebesar 57,9 tahun (SD = 8,95).
  3. Sebagian besar (70,6%) jenis kelamin responden adalah pria.
  4. Hanya 56 responden (82,4%) yang sering melakukan latihan olahraga.
  5. Ada pengaruh pemberian komunikasi terapeutik terhadap pengetahuan tentang penyakit yang diderita pada pasien diabetes melitus.
  6. Ada pengaruh pemberian komunikasi terapeutik terhadap sikap pasien diabetes melitus terhadap penyakit yang diderita dan program pengobatan.
  7. Ada pengaruh pemberian komunikasi terapeutik terhadap kepatuhan dalam pengobatan pada pasien diabetes melitus.
  8. Ada pengaruh pemberian komunikasi terapeutik terhadap perilaku pasien diabetes melitus.

Saran

  1. Berdasarkan temuan empirik di atas, hendaknya komunikasi terapeutik benar-benar diterapkan di poliklinik rawat jalan untuk mengurangi ketidakpatuhan pasien dalam program pengobatan, khususnya pada pasien dengan penyakit menahun.
  2. Hendaknya perawat dapat bersikap terapeutik agar tercipta kondisi saling percaya antara perawat dan pasien sehingga akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan.
  3. Hendaknya perawat selalu mengasah ketrampilannya dalam komunikasi terapeutik termasuk kemampuan dalam expressive touch yaitu perilaku perawat yang membuat nyaman dalam berkomunikasi dengan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

  1. American Association of Diabetes Educators, AADE Position Statement: Individualization of Diabetes Education and Management, 1994, http://www.aadenet.org/Position%20Statements/indiv_of_DM.htm, [downloaded October, 31st , 2002].
  2. Azwar S., Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.
  3. Badruddin N., Basit A., Hydrie M.Z.I., & Hakeem R., Knowledge, Attitude and Practices of Patients Visiting a Diabetes Care Unit, Pakistan Jou of Nut 1(2): 99-102, 2002
  4. Chapman T., Therapeutic Communication Techniques, http://www. tusc.kent.edu/nursing/thercomm.htm , [downloaded November, 21st , 2001].
  5. Galbis-Reig D., Oley M.A., Forburger A.F., & Teekah T.R., Implementation of an Educational Intervention Program to Increase Influenza Vaccination Among Persons with Diabetes Melitus, the Internet Jou of Internal Med. 2001 Vol. 2 No. 2, http://www.icaap.org/iuicode?134.2.2.5, [downloaded October, 31st , 2002].
  6. Harsono, Komunikasi Terapeutik, Bina Sehat Edisi Mei-Juli, No.: 003/BS/PPNI/ 2000.
  7. Mudjaddid, E., Pemilihan Obat Antidepresan pada Beberapa Penyakit Organik, makalah Simposium Current Diagnosis and Treatment 2001 di Hotel Borobudur, Jakarta, 27-28 Desember 2001.
  8. Muzahan F., Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan, Jakarta : UI Press, 1995.
  9. Nurjannah I., Hubungan Terapeutik Perawat dan Klien: Kualitas Pribadi sebagai Sarana, Yogyakarta: PSIK-FK UGM, 2001.
  10. Prochaska J.O, Clements D., & Cross J.J.N., The Transtheorical Approach: Crossing the Traditional Bounderies of Therapy Homewood, Illionnis: Dan-Yones/Irwin, 1992.
  11. Purwanto H., Pengantar Perilaku Manusia untuk Keperawatan, Jakarta: EGC, 1998.
  12. Rakhmat J., Psikologi Komunikasi, Bandung: Remadja Karya, 1986.
  13. Redhead J, Hussain A, Gedling P, McCulloch AJ., The effect of primary-care based education service. Diabetic Medicine 1993, Vol. 10: p. 672-675.
  14. Sarwono. S, Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993.
  15. Smith R., Chronic Disease, Patient Knowledge, and the Effect on the Demand for Physician Services, http://www.academyhealth.org/2002/abstract/quality/smith.htm, [downloaded November, 29th, 2002].
  16. Stuart G.W. & Sundeen S.J., Principles and Practice of Psychiatric Nursing, St. Louis: Mosby-Year Book, Inc., 1995.
  17. Sunberg C.M., Fundamentals of Nursing with Clinical Procedures, Boston: Jones and Bartlett Publishers, 1989.
  18. Sundeen S.J., Stuart G.W., Rankin E.A.D. & Cohen S.A., Nurse-Client Interaction: Implementing the Nursing Process, 5th Ed., Missouri: Mosby-Year Book, Inc., 1994.
  19. Tagliacozzo D.M., Luskin D.B., Lashof J.C. & Ima K., Nurse Intervention and Patient Behavior, Am. Jou. Public Health 1974, Vol. 64 No. 6.
  20. Walsh M., Crumbie A., & Reveley S., Nurse Practitioners: Clinical Skills and Professional Issues, Oxford: Butterworth-Heinemann, 1999.Wilson H.S. & Kneils C.R., Psychiatric Nursing, 2nd Ed., California: Addison-Wesley Publishing Company Inc., 1983.

Tim Penelitian ini antara lain : Bondan Palestin, Budhy Ermawan, Jenita Doli Tine Donsu, Sri Hendarsih, Maria H Bakri





1 Comments:

Blogger drmandangmichael@gmail.com said...

“Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.
Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui.
Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.
Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.
Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.”

Setelah TUHAN mengucapkan firman itu kepada Ayub, maka firman TUHAN kepada Elifas, orang Teman: “Murka-Ku menyala terhadap engkau dan terhadap kedua sahabatmu, karena kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub.
Oleh sebab itu, ambillah tujuh ekor lembu jantan dan tujuh ekor domba jantan dan pergilah kepada hamba-Ku Ayub, lalu persembahkanlah semuanya itu sebagai korban bakaran untuk dirimu, dan baiklah hamba-Ku Ayub meminta doa untuk kamu, karena hanya permintaannyalah yang akan Kuterima, supaya Aku tidak melakukan aniaya terhadap kamu, sebab kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub.”
Maka pergilah Elifas, orang Teman, Bildad, orang Suah, dan Zofar, orang Naama, lalu mereka melakukan seperti apa yang difirmankan TUHAN kepada mereka. Dan TUHAN menerima permintaan Ayub.

Lalu TUHAN memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan TUHAN memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu.
Kemudian datanglah kepadanya semua saudaranya laki-laki dan perempuan dan semua kenalannya yang lama, dan makan bersama-sama dengan dia di rumahnya. Mereka menyatakan turut berdukacita dan menghibur dia oleh karena segala malapetaka yang telah ditimpakan TUHAN kepadanya, dan mereka masing-masing memberi dia uang satu kesita dan sebuah cincin emas.
TUHAN memberkati Ayub dalam hidupnya yang selanjutnya lebih dari pada dalam hidupnya yang dahulu; ia mendapat empat belas ribu ekor kambing domba, dan enam ribu unta, seribu pasang lembu, dan seribu ekor keledai betina.
Ia juga mendapat tujuh orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan;
dan anak perempuan yang pertama diberinya nama Yemima, yang kedua Kezia dan yang ketiga Kerenhapukh.
Di seluruh negeri tidak terdapat perempuan yang secantik anak-anak Ayub, dan mereka diberi ayahnya milik pusaka di tengah-tengah saudara-saudaranya laki-laki.
Sesudah itu Ayub masih hidup seratus empat puluh tahun lamanya; ia melihat anak-anaknya dan cucu-cucunya sampai keturunan yang keempat.
Maka matilah Ayub, tua dan lanjut umur.

9:29 PM  

Post a Comment

<< Home